Majapahit adalah sebuah Kerajaan besar. Sebuah Emperor. Yang wilayahnya
membentang dari ujung utara pulau Sumatera sampai Papua. Bahkan, Malaka yang
sekarang dikenal dengan nama Malaysia, termasuk wilayah kerajaan Majapahit.
Bagaimana bisa kerajaan sekaliber Majapahit bisa runtuh?
ARTIKEL INI HANYA SEKEDAR MENGUNGKAP FAKTA
MASA LALU YANG SEBENARNYA, SEBAGAI BAHAN RENUNGAN KITA SEMUA AGAR TIDAK
TERULANG LAGI.
Oleh
: Damar Shashangka.
Majapahit adalah sebuah Kerajaan besar. Sebuah Emperor. Yang wilayahnya membentang dari ujung utara pulau Sumatera sampai Papua. Bahkan, Malaka yang sekarang dikenal dengan nama Malaysia, termasuk wilayah kerajaan Majapahit.
Majapahit berdiri pada tahun 1293
Masehi. Didirikan oleh Raden Wijaya yang lantas setelah dikukuhkan sebagai Raja
beliau bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Eksistensi Majapahit sangat disegani
diseluruh dunia. Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang ditakuti oleh Kekaisaran
Tiongkok China. Di Asia ini, pada abad XI, hanya ada dua Kerajaan besar,
Tiongkok dan Majapahit.
Lambang
Negara Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan Putih.
Melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Lambang
nasionalisme sejati. Lambang kecintaan pada bhumi pertiwi. Karma Bhumi. Dan pada jamannya, bangsa kita pernah menjadi Negara
adikuasa, superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat pemerintahan ada di Trowulan, sekarang
didaerah Mojokerto, Jawa Timur. Pelabuhan Internasional- nya waktu itu adalah
Gresik.
Agama resmi Negara adalah Hindhu aliran
Shiva dan Buddha. Dua agama besar ini dikukuhkan sebagai agama resmi Negara.
Sehingga kemudian muncul istilah agama Shiva Buddha. Nama Majapahit sendiri
diambil dari nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon
Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja, dan
rasanya memang pahit.
Maja yang pahit ini adalah pohon suci
bagi penganut agama Shiva, dan nama dari pohon suci ini dijadikan nama
kebesaran dari sebuah Emperor di Jawa. Dalam bahasa sanskerta, Majapahit juga
dikenal dengan nama Vilvatikta (Wilwatikta)
- Vilva : Pohon Maja,
- Tikta : Pahit
Sehingga, selain Majapahit (baca
: Mojopait) orang Jawa juga mengenal Kerajaan besar ini dengan nama
Wilwatikta. (Wilwotikto)
Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya
pada jaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350
M). Dan mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Prabhu Hayam
Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah Mada-nya yang
kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada
masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar
jaman yang gilang gemilang!
Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat
perang saudara selama lima tahun yang terkenal dengan nama Perang
Pare-greg (1401-1406 M). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten
Blambangan hendak melepaskan diri dari pusat Pemerintahan. Blambangan yang
diperintah oleh Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukkan oleh seorang ksatria
berdarah Blambangan sendiri yang membelot ke Majapahit, yaitu Raden
Gajah. (Kisah ini terkenal didalam masyarakat Jawa dalam cerita rakyat
pemberontakan Adipati Blambangan Kebo Marcuet)
- Kebo
: Bangsawan,
- Marcuet
: Kecewa.
Kebo Marcuet berhasil ditaklukkan oleh
Jaka Umbaran.
- Jaka
: Perjaka,
- Umbaran
: Pengembara.
Dan Jaka Umbaran setelah berhasil
menaklukkan Adipati Kebo Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan dengan
nama Minak Jingga.
- Minak
: Bangsawan,
- Jingga
: Penuh Keinginan.
Adipati Kebo Marcuet inilah Bhre
Wirabhumi, dan Minak Jingga tak lain adalah Raden Gajah, keponakan Bhre
Wirabhumi sendiri.
Namun, sepeninggal Prabhu
Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit dilimpahkan kepada Ratu Suhita, Malahan
Raden Gajah yang kini hendak melepaskan diri dari pusat pemerintahan karena
merasa diingkari janjinya. Dan tampillah Raden Paramesywara, yang berhasil
memadamkan pemberontakan Raden Gajah. Pada akhirnya, Raden Paramesywara
diangkat sebagai suami oleh Ratu Suhita.
Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar
Wulan. Ratu Suhita tak lain adalah Kencana Wungu.
- Kencana
: Mutiara,
- Wungu
: Pucat
pasi, ketakutan.
Dan Raden Paramesywara adalah Damar
Wulan.
- Damar
:
Pelita,
- Wulan
: Sang
Rembulan.
Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga
pada tahun 1453 Masehi, tahta Majapahit dipegang oleh Raden Kertabhumi yang
lantas terkenal dengan gelar Prabhu Brawijaya (Bhre Wijaya). Pada
jaman pemerintahan beliau inilah, Islamisasi mulai merambah wilayah kekuasaan
Majapahit, dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke pusat
kerajaan, ke pulau Jawa.
BENARKAH MASUKNYA ISLAM KE NUSANTARA
BERLANGSUNG DENGAN JALAN DAMAI? TIDAKKAH ADA DARAH YANG TERTUMPAH?
ARTIKEL INI HANYA SEKEDAR MENGUNGKAP
FAKTA MASA LALU YANG SEBENARNYA, SEBAGAI BAHAN RENUNGAN KITA SEMUA AGAR TIDAK
TERULANG LAGI.
Dan kisahnya adalah sebagai berikut :
Diwilayah Kamboja selatan, dulu terdapat
Kerajaan kecil yang masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Champa
namanya.(Sekarang hanya menjadi perkampungan Champa). Kerajaan ini
berubah menjadi Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu.
Keputusan ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand,
Bukhara. (Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim As-Samarqand. Selain berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil
Syeh Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu.
Raja Champa memiliki dua orang putri.
- Yang sulung bernama Dewi Candrawulan.
- Yang bungsu bernama Dewi Anarawati.
Syeh Ibrahim As-Samarqand dinikahkan
dengan Dewi Candrawati. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah dua orang putra :
- Yang sulung bernama Sayyid `Ali Murtadlo
- Yang bungsu bernama Sayyid `Ali Rahmad.
Karena berkebangsaan Champa (Indo-china),
Sayyid `Ali Rahmad juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo. (Nama Champa
dari Sayyid `Ali Murtadlo, Raja Champa, Dewi Candrawulan dan Dewi Anarawati,
penulis belum mengetahuinya).
Kerajaan Champa dibawah kekuasaan
Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Jawa. Pada waktu itu Majapahit
diperintah oleh Raden Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya semenjak tahun 1453
Masehi. Beliau didampingi oleh adiknya Raden Purwawisesha sebagai Mahapatih.
Pada tahun 1466, Raden Purwawisesha mengundurkan diri dari jabatannya, dan
sebagai penggantinya diangkatlah Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun kemudian,
yaitu pada tahun 1468 Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri.
Praktis semenjak tahun 1468 Masehi,
Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa didampingi oleh seorang Mahapatih.
Apakah gerangan dalam masa pemerintahan
Prabhu Brawijaya terjadi dua kali pengunduran diri dari seorang Mahapatih?
Sebabnya tak lain dan tak bukan karena Prabhu
Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim.
Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya
naik tahta, Kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang putri China yang sangat
cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini
dimaksudkan sebagai tali penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri
ini bernama Tan Eng Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya,
setelah Prabhu Brawijaya menikahi putri ini, praktis beliau hampi-hampir
melupakan istri-istrinya yang lain. (Prabhu Brawijaya banyak memiliki
istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar)
Ketika putri Tan Eng Kian tengah hamil
tua, rombongan dari Kerajaan Champa datang menghadap. Raja Champa sendiri yang
datang. Diiringi oleh para pembesar Kerajaan dan ikut juga dalam rombongan,
Dewi Anarawati. Raja Champa banyak membawa upeti sebagai tanda takluk. Dan
salah satu upeti yang sangat berharga adalah, Dewi Anarawati sendiri.
Melihat kecantikan putri berdarah
indo-china ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan begitu Dewi Anarawati telah
beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China yang tengah hamil tua itu,
seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana. Perhatian Prabhu Brawijaya kini
beralih kepada Dewi Anarawati.
Saking tergila-gilanya, manakala Dewi
Anarawati meminta agar Tan Eng Kian disingkirkan dari istana, Prabhu Brawijaya
menurutinya. Tan Eng Kian diceraikan. Lantas
putri China yang malang ini diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar
untuk diperistri. Adipati Arya Damar sesungguhnya juga peranakan China. Dia
adalah putra selir Prabhu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang sudah wafat yang
memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi, dengan seorang putri China pula.
Nama China Adipati Arya Damar adalah
Swan Liong. Menerima pemberian seorang janda dari Raja adalah suatu kehormatan
besar. Perlu dicatat, Swan Liong adalah China muslim. Dia masuk Islam setelah
berinteraksi dengan etnis China di Palembang, keturunan pengikut Laksamana
Cheng Ho yang sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah,
Palembang waktu itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang
bercorak Islam.
Arya Damar menunggu kelahiran putra yang
dikandung Tan Eng Kian sebelum ia menikahinya. Begitu putri China ini selesai
melahirkan, dinikahilah dia oleh Arya Damar.
Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian,
hasil dari pernikahannya dengan Prabhu Brawijaya, adalah seorang anak lelaki.
Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim, dia juga diberi nama
Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama
Raden Patah!
Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan
Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra. Diberi nama Kin Shan. Nama muslimnya
adalah Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Adipati Pecattandha,
atau Adipati Terung yang terkenal itu!
Kembali ke Jawa. Dewi Anarawati yang
muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya. Dia lantas
menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil menyingkirkan pesaingnya, Tan
Eng Kian.Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu Brawijaya
agar saudara-saudaranya yang muslim, yang banyak tinggal dipesisir utara Jawa,
dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita Shiva dan
para Wiku Buddha.
Mendengar permintaan istri tercintanya
ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang menjadi masalah, siapakah
yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya padepokan Shiva atau
Mahawiku layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba, Dewi Anarawati
segera mengusulkan, agar diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di Champa untuk tinggal sebagai
Guru di Ashrama Islam yang hendak dibangun. Dan
lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.
Para Pembesar Majapahit, Para Pandhita
Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah melihat gelagat yang tidak baik. Mereka
dengan halus memperingatkan Prabhu Brawijaya, agar selalu berhati-hati dalam
mengambil sebuah keputusan penting.
Tak kurang-kurang, Sabda Palon dan
Nayagenggong, punakawan terdekat Prabhu Brawijaya juga sudah memperingatkan
agar momongan mereka ini berhati-hati, tidak gegabah. Namun, Prabhu Brawijaya,
bagaikan orang mabuk, tak satupun nasehat
orang-orang terdekatnya beliau dengarkan.
Perekonomian Majapahit sudah hampir
didominasi oleh etnis China semenjak putri Tan Eng Kian di peristri oleh Prabhu
Brawijaya, dan memang itulah misi dari
Kekaisaran Tiongkok. Kini, dengan masuknya Dewi Anarawati,
orang-orang muslim-pun mendepat kesempatan besar. Apalagi, pada waktu itu,
banyak juga orang China yang muslim. Semua masukan bagi Prabhu Brawijaya
tersebut, tidak satupun yang diperhatikan secara sungguh-sungguh. Para Pejabat
daerah mengirimkan surat khusus kepada Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan
tingkah laku para pendatang baru ini. Namun, tetap saja, ditanggapi acuh tak
acuh.
Hingga pada suatu ketika, manakala ada
acara rutin tahunan dimana para pejabat daerah harus menghadap ke ibukota
Majapahit sebagai tanda kesetiaan, Ki
Ageng Kutu, Adipati Wengker (Sekarang
Ponorogo), mempersembahkan tarian khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini masih
baru. Belum pernah ditampilkan dimanapun. Tarian ini dimainkan dengan
menggunakan piranti tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti tari yang
berupa duplikat kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak diatasnya.
Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu orang pemain, dengan diiringi oleh para
prajurid yang bertingkah polah seperti banci. (Sekarang dimainkan oleh
wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang bernama Pujangganom dan satu orang
Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari acuh tak acuh, sedangkan
Jathilan, melompat-lompat seperti orang gila.
Sang Prabhu takjub melihat tarian baru
ini. Manakala beliau menanyakan makna dari suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu,
Adipati dari Wengker yang terkenal berani itu, tanpa sungkan-sungkan lagi
menjelaskan, bahwa :
- Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan Majapahit sendiri.
- Kepala Harimau adalah symbol dari Sang Prabhu.
- Bulu-bulu merak yang indah adalah symbol permaisuri sang Prabhu yang terkenal sangat
cantik, yaitu Dewi Anarawati.
- Pasukan banci adalah pasukan Majapahit. Pujangganom adalah symbol dari Pejabat
teras, dan
- Jathilan adalah symbol dari Pejabat daerah.
Arti sesungguhnya adalah : Kerajaan Majapahit, kini
diperintah oleh seekor harimau yang dikangkangi oleh burung Merak yang indah.
Harimau itu tidak berdaya dibawah selangkangan sang burung Merak. Para Prajurid
Majapahit sekarang berubah menjadi penakut, melempem dan banci, sangat memalukan!
Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat daerah dibuat kebingungan
menghadapi invasi halus, imperialisasi halus yang kini tengah terjadi. Dan
terang-terangan Ki Ageng Kutu memperingatkan agar Prabhu Brawijaya berhati-hati
dengan orang-orang Islam!
Kesenian sindiran ini kemudian hari
dikenal dengan nama REOG PONOROGO!
Mendengar kelancangan Ki Ageng Kutu,
Prabhu Brawijaya murka! Dan Ki Ageng Kutu, bersama para pengikutnya segera
meninggalkan Majapahit. Sesampainya di Wengker, beliau mamaklumatkan perang
dengan Majapahit!
Prabhu Brawijaya mengutus putra
selirnya, Raden Bathara Katong untuk memimpin pasukan Majapahit, menggempur
Kadipaten Wengker!
Prabhu Brawijaya, menjanjikan daerah
`perdikan’. Daerah perdikan adalah daerah otonom. Beliau menjanjikannya kepada
Dewi Anarawati. Dan Dewi Anarawati meminta daerah Ampeldhenta(sekarang
didaerah Surabaya) agar dijadikan daerah otonom bagi orang-orang
Islam. Dan disana, rencananya akan dibangun sebuah Ashrama besar, pusat
pendidikan bagi kaum muslim.
Begitu Prabhu Brawijaya menyetujui hal
ini, maka Dewi Anarawati, atas nama Negara, mengirim utusan ke Champa. Meminta
kesediaan Syeh Ibrahim As-Samarqand untuk tinggal di Majapahit dan menjadi Guru
dari Padepokan yang hendak dibangun.
Dan permintaan ini adalah sebuah kabar
keberhasilan luar biasa bagi Raja Champa. Misi peng-Islam-an Majapahit sudah diambang mata. Maka berangkatlah Syeh Ibrahim As-Samarqand ke Jawa.
Diiringi oleh kedua putranya, Sayyid `Ali Murtadlo dan Sayyid `Ali Rahmad.
Sesampainya di Gresik, pelabuhan
Internasional pada waktu itu, mereka disambut oleh masyarakat muslim pesisir
yang sudah ada disana sejak jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa. Masyarakat
muslim ini mulai mendiami pesisir utara Jawa semenjak kedatangan Syeh Maulana
Malik Ibrahim, yang pada waktu itu memohon menghadap kehadapan Prabhu Hayam
Wuruk hanya untuk sekedar meminta beliau agar `pasrah’ memeluk Islam. Tentu
saja, permintaan ini ditolak oleh Sang Prabhu
Hayam Wuruk pada waktu itu karena dianggap lancang. Namun, beliau sama sekali tidak menjatuhkan hukuman.
Beliau dengan hormat mempersilakan rombongan Syeh Maulana Malik Ibrahim agar
kembali pulang. Namun sayang, di Gresik, banyak para pengikut Syeh Maulana
Malik Ibrahim terkena wabah penyakit yang datang tiba-tiba. Banyak yang
meninggal. Salah satunya adalah santriwati Syeh Maulana Malik Ibrahim bernama
Syarifah Muda’im binti Maimun. (Sampai sekarang makamnya masih ada). Dan
Syeh Maulana Malik Ibrahim akhirnya wafat juga di Gresik, dan lantas dikenal
oleh orang-orang Jawa muslim dengan nama Sunan
Gresik.
Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan
Gresik telah datang jauh-jauh hari sebelum ada yang dinamakan Dewan Wali
Sangha.
(Sangha = Perkumpulan orang-orang suci.
Sangha mbil dari bahasa Sansekerta. Bandingkan dengan doktrin Buddhis
mengenai Buddha, Dharma dan Sangha. Kata-kata Wali Sangha lama-lama berubah
menjadi Wali Songo yang diartikan Wali Sembilan)
Rombongan dari Champa ini sementara
waktu beristirahat di Gresik sebelum meneruskan perjalanan menuju ibukota
Negara Majapahit. Sayang, setibanya di Gresik, Syeh Ibrahim As-Samarqand jatuh
sakit dan meninggal dunia. Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama Syeh
Ibrahim Smorokondi. Makamnya masih ada di Gresik sekarang.
Kabar meninggalnya Syeh Ibrahim
As-Samarqand sampai juga di istana. Dewi Anarawati bersedih. Lantas, kedua
putra Syeh Ibrahim As-Samarqand dipanggil menghadap. Atas usul Dewi Anarawati,
Sayyid `Ali Rahmad diangkat sebagai pengganti ayahnya sebagai Guru dari sebuah
Padepokan Islam yang hendak didirikan.
Bahkan, Sayyid `Ali Rahmad dan Sayyid
`Ali Murtadlo mendapat gelar kebangsawanan Majapahit, yaitu Rahadyan atau
Raden. Jadilah mereka dikenal dengan nama Raden Rahmad dan Raden Murtolo(Orang
Jawa tidak bisa mengucapkan huruf `dlo’. Huruf `dlo’ berubah menjadi `lo’.
Seperti Ridlo, jadi Rilo, Ramadlan jadi Ramelan, Riyadloh jadi Riyalat, dll).
Namun lama kelamaan, Raden Murtolo
dikenal dengan nama Raden Santri, makamnya juga ada di Gresik sekarang.
Raden Rahmad, disokong pendanaan dari Majapahit, membangun pusat pendidikan Islam pertama di Jawa.
Para muslim pesisir datang membantu. Tak berapa lama, berdirilah Padepokan
Ampeldhenta. Istilah Padepokan lama-lama berubah menjadi Pesantren untuk
membedakannya dengan Ashrama pendidikan Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas
dikemudian hari, Raden Rahmad dikenal dengan nama Sunan Ampel.
Raden
Santri, mengembara ke Bima, menyebarkan Islam disana, hingga ketika sudah tua,
ia kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik.
Para pembesar Majapahit, Para Pandhita
Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah memperingatkan Prabhu Brawijaya. Sebab sudah
terdengar kabar dimana-mana, kaum baru ini adalah kaum missioner. Kaum yang
punya misi tertentu. Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam, Pasai juga,
Palembang juga, dan kini gerakan itu sudah semakin dekat dengan pusat kerajaan.
Semua telah memperingatkan Sang Prabhu.
Tak ketinggalan pula Sabda Palon dan Naya Genggong. Namun, bagaikan berlalunya
angin, Prabhu Brawijaya tetap tidak mendengarkannya. Raja Majapahit yang ditakuti ini, kini bagaikan
harimau yang takluk dibawah kangkangan burung Merak, Dewi Anarawati.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu dari Wengker dulu.
Berdirinya Giri Kedhaton
Blambangan (Sekarang Banyuwangi),
sekitar tahun 1450 Masehi terkena wabah penyakit. Hal ini dikarenakan
ketidaksadaran masyarakatnya yang kurang mampu menjaga kebersihan lingkungan.
Blambangan diperintah oleh Adipati Menak Sembuyu, didampingi Patih Bajul
Sengara.
Wabah penyakit itu masuk juga ke istana
Kadipaten. Putri Sang Adipati, Dewi Sekardhadhu, jatuh sakit. Ditengah wabah
yang melanda, datanglah seorang ulama dari Samudera Pasai (Sekarang
Aceh), yang masih berkerabat dekat dengan Syeh Ibrahim As-Samarqand,
bernama Syeh Maulana Ishaq. Dia ahli pengobatan. Mendengar Sang Adipati
mengadakan sayembara, dia serta merta mengikutinya. Dan berkat keahlian
pengobatan yang dia dapat dari Champa, sang putri berangsur-angsur sembuh.
Adipati Menak Sembuyu menepati janji.
Sesuai isi sayembara, barangsiapa yang mampu menyembuhkan sang putri, jika
lelaki akan dinikahkan jika perempuan akan diangkat sebagai saudara, maka, Syeh
Maulana Ishaq dinikahkan dengan Dewi Sekardhadhu.
Namun pada perjalanan waktu selanjutnya,
ketegangan mulai timbul. Ini disebabkan, Syeh Maulana Ishaq, mengajak Adipati
beserta seluruh keluarga untuk memeluk agama Islam.
Ketegangan ini lama-lama berbuntut pengusiran
Syeh Maulana Ishaq dari Blambangan. Perceraian terjadi. Dan waktu itu, Dewi
Sekardhadhu tengah hamil tua. Keputusan untuk menceraikan Dewi Sekardhadhu
dengan Syeh Maulana Ishaq ini diambil oleh Sang Adipati karena melihat
stabilitas Kadipaten Blambangan yang semula tenang, lama-lama terpecah menjadi
dua kubu. Kubu yang mengidolakan Syeh Maulana Ishaq dan kubu yang tetap menolak
infiltrasi asing ke wilayah mereka. Kubu pertama tertarik pada ajaran Islam,
sedangkan kubu kedua tetap tidak menyetujui masuknya Islam karena terlalu diskriminatif menurut mereka. Antar kerabat jadi terpecah belah, saling curiga dan
tegang. Ini yang tidak mereka sukai.
Sepeninggal Syeh Maulana Ishaq, ternyata
masalah belum usai. Kubu yang pro ulama Pasai ini, kini menantikan kelahiran
putra sang Syeh yang tengah dikandung Dewi Sekardhadhu. Sosok Syeh Maulana
Ishaq, kini menjadi laten bagi stabilitas Blambangan. Mendapati situasi
ketegangan belum juga bisa diredakan, maka mau tak mau, Adipati Blambangan,
dengan sangat terpaksa, memberikan anak Syeh Maulana Ishaq, cucunya sendiri
kepada saudagar muslim dari Gresik. Anak itu terlahir laki-laki.
Dalam cerita rakyat dari sumber Islam,
konon dikisahkan anak itu dilarung ketengah laut (meniru cerita Nabi
Musa) dengan menggunakan peti. Konon ada saudagar muslim Gresik yang
tengah berlayar. Kapal dagangnya tiba-tiba tidak bisa bergerak karena menabrak
peti itu. Dan peti itu akhirnya dibawa naik ke geladak oleh anak buah sang
saudagar. Isinya ternyata seorang bayi.
Sesungguhnya itu hanya cerita kiasan.
Yang terjadi, saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar di Blambangan
diperintahkan untuk menghadap ke Kadipaten menjelang mereka hendak balik ke
Gresik. Inilah maksudnya kapal tidak bisa bergerak. Para saudagar
bertanya-tanya, ada kesalahan apa yang mereka buat sehingga mereka disuruh
menghadap ke Kadipaten? Ternyata, di Kadipaten, Adipati Menak Sembuyu, dengan
diam-diam telah mengatur pertemuan itu. Sang Adipati memberikan seorang anak
bayi, cucunya sendiri, yang lahir dari ayah seorang muslim. Anak itu dititipkan
kepada para saudagar anak buah saudagar kaya di Gresik yang bernama Nyi Ageng
Pinatih, yang seorang muslim. Adipati Menak Sembuyu tahu telah menitipkan
cucunya kepada siapa. Beliau yakin, cucunya akan aman bersama Nyi Ageng
Pinatih. Hanya dengan jalan inilah, Blambangan dapat kembali tenang.
Putra Syeh Maulana Ishaq ini, lahir pada
tahun 1452 Masehi.
Sekembalinya dari Blambangan, para
saudagar ini menghadap kepada majikan mereka, Nyi Ageng Pinatih sembari
memberikan oleh-oleh yang sangat berharga. Seorang anak bayi keturunan
bangsawan Blambangan. Bahkan dia adalah putra Syeh Maulana Ishaq, sosok yang
disegani oleh orang-orang muslim. Nyi Ageng Pinatih tidak berani menolak sebuah
anugerah itu. Diambillah bayi itu, dianggap anak sendiri. Karena bayi itu hadir
seiring kapal selesai berlayar dari samudera, maka bayi itu dinamakan Jaka
Samudera oleh Nyi Ageng Pinatih.
Jaka Samudera dibawa menghadap ke
Ampeldhenta menjelang usia tujuh tahun. Dia tinggal disana. Belajar agama dari
Sunan Ampel. Sunan Ampel yang tahu siapa Jaka Samudera yang sebenarnya dari Nyi
Ageng Pinatih, maka sosok anak ini sangat dia perhatikan dan diistimewakan. Sunan
Ampel menganggapnya anak sendiri.
Sunan Ampel, dari hasil perkawinannya
dengan kakak kandung Adipati Tuban Arya Teja, memiliki delapan putra dan putri.
1.
Makdum Ibrahim (Nama Champa-nya : Bong-Ang : kelak terkenal
dengan sebutan Sunan Benang. Lama-lama pengucapannya berubah menjadi Sunan
Bonang).
2.
Abdul Qasim, terkenal kemudian dengan
nama Sunan Derajat.
3.
Maulana Ahmad, yang terkenal dengan
nama Sunan Lamongan,
4.
Siti Murtasi’ah, kelak dijodohkan dengan
Jaka Samudera, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton (Sunan
Giri),
5.
Siti Asyiqah, kelak dijodohkan dengan
Raden Patah (Tan Eng Hwat), putra Tan Eng Kian, janda Prabhu
Brawijaya yang ada di Palembang itu.
Kekuatan Islam dibangun melalui tali
pernikahan. Jaka Samudera, diberi nama lain oleh Sunan Ampel, yaitu Raden
Paku. Kelak dia dikenal dengan nama Sunan Giri
Kedhaton.
Dia
adalah santri senior. Sunan Ampel bahkan telah mencalonkan, mengkaderkan dia
sebagai penggantinya kelak bila sudah meninggal.
Sunan Giri sangat radikal dalam
pemahaman keagamannya. Setamat berguru dari Ampeldhenta, dia pulang ke Gresik.
Di Gresik, dia menyatukan komunitas muslim disana. Dia mendirikan Pesantren.
Terkenal dengan nama Pesantren Giri.
Namun dalam perkembangannya, Pesantren
Giri memaklumatkan lepas dari kekuasaan Majapahit yang dia pandang Negara kafir.
Pesantren Giri berubah menjadi pusat pemerintahan. Maka dikenal dengan nama
Giri Kedhaton. (Kerajaan Giri).
Sunan Giri, mengangkat dirinya sebagi
khalifah Islam dengan gelar Prabhu Satmata (Penguasa Bermata Enam.
Gelar sindiran kepada Deva Shiva yang cuma bermata tiga).
Mendengar Gresik melepaskan diri dari
pusat kekuasan, Prabhu Brawijaya, sebagai Raja Diraja Nusantara yang sah,
segera mengirimkan pasukan tempur untuk menjebol Giri Kedhaton. Darah tertumpah.
Darah mengalir. Dan akhirnya, Giri Kedhaton bisa ditaklukkan. Kekhalifahan
Islam pertama itu tidak berumur lama. Namun kelak, setelah Majapahit hancur
oleh serangan Demak Bintara, Giri Kedhaton eksis lagi mulai tahun 1487
Masehi. (Sembilan tahun setelah Majapahit hancur pada tahun 1478
Masehi).
Dari sumber Islam, banyak cerita yang
memojokkan pasukan Majapahit. Konon Sunan Giri berhasil mengusir pasukan
Majapahit hanya dengan melemparkan sebuah kalam atau penanya. Kalam miliknya
ini katanya berubah menjadi lebah-lebah yang menyengat. Sehingga membuat puyeng
atau munyeng para prajurid Majapahit. Maka dikatakan, `kalam’ yang bisa membuat
`munyeng’ inilah senjata andalan Sunan Giri. Maka dikenal dengan nama
`Kalamunyeng’ . Sesungguhnya, ini hanya kiasan belaka. Sunan Giri, melalui
tulisan-tulisannya yang mengobarkan semangat ke-Islam-an, mampu mengadakan
pemberontakan yang sempat `memusingkan’ Majapahit.
Namun, karena Sunan Ampel meminta pengampunan
kepada Prabhu Brawijaya, Sunan Giri tidak mendapat hukuman. Tapi
gerak-geriknya, selalu diawasi oleh Pasukan Telik Sandhibaya (Intelijen) Majapahit.
Inilah kelemahan Prabhu Brawijaya. Terlalu meremehkan bara api kecil yang
sebenarnya bisa membahayakan.
Sabda Palon dan Naya Genggong sudah
mengingatkan agar seorang yang bersalah harus mendapatkan sangsi hukuman.
Karena itulah kewajiban yang merupakan sebuah janji seorang Raja. Salah satu
kewajiban menjalankan janji suci sebagai AGNI atau API, yang harus mengadili
siapa saja yang bersalah. Janji ini adalah satu bagian integral dari tujuh
janji yang lain, yaitu :
1.
ANGKASHA (Ruang), Raja harus
memberikan ruang untuk mendengarkan suara rakyatnya,
2.
VAYU (Angin), Raja harus
mampu mewujudkan pemerataan kesejahteraan kepada rakyatnya bagai angin,
3.
AGNI (Api), Raja harus
memberikan hukuman yang seadil-adilnya kepada yang bersalah tanpa pandang bulu
bagai api yang membakar,
4.
TIRTA (Air), Raja harus
mampu menumbuhkan kesejahteraan perekonomian bagi rakyatnya bagaikan air yang
mampu menumbuhkan biji-bijian,
5.
PRTIVI (Tanah), Raja harus
mampu memberikan tempat yang aman bagi rakyatnya, menampung semuanya, tanpa ada
diskriminasi, bagaikan tanah yang mau menampung semua manusia,
6.
SURYA (Matahari), Raja harus
mampu memberikan jaminan keamanan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu
seperti Matahari yang memberikan kehidupan kepada mayapada,
7.
CHANDRA (Bulan), Raja harus
mampu mengangkat rakyatnya dari keterbelakangan, dari kebodohan, dari
kegelapan, bagaikan sang rembulan yang menyinari kegelapan dimalam hari, dan
yang terakhir adalah
8.
KARTIKA (Bintang), Raja
harus mampu memberikan aturan-aturan hukum yang jelas, kepastian hukum bagi
rakyat demi kesejahteraan, kemanusiaan, keadilan, bagaikan bintang gemintang
yang mampu menunjukkan arah mata angin dengan pasti dikala malam menjalang.
Inilah DELAPAN JANJI RAJA yang disebut ASTHAVRATA (Jawa : Astobroto).
Dan menurut Sabda Palon dan Naya
Genggong, Prabhu Brawijaya telah lalai menjalankan janji sucinya sebagai AGNI.
Mendapati kondisi memanas seperti itu,
Sunan Ampel mengeluarkan sebuah fatwa, Haram hukumnya menyerang Majapahit,
karena bagaimanapun juga Prabhu Brawijaya adalah Imam yang wajib dipatuhi.
Setelah keluar fatwa dari pemimpin Islam se-Jawa, konflik mulai mereda.
Namun bagaimanapun juga, dikalangan
orang-orang Islam diam-diam terbagi menjadi dua kubu. Yaitu :
1.
Kubu yang
mencita-citakan berdirinya Kekhalifahan Islam Jawa. Kubu ini dipelopori oleh Sunan Giri. Kubu ini
mengklaim, bahwa golongan mereka memeluk Islam secara kaffah, secara
bulat-bulat, maka pantas disebut PUTIHAN (Kaum Putih). Dan mereka menyebut kubu
yang dipimpin Sunan Kalijaga sebagai ABANGAN (Kaum Merah).
2.
Kubu yang tidak
menginginkan berdirinya Kekhalifahan itu. Kubu
ini dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Adipati Tuban Arya Teja, keponakan
Sunan Ampel. Kubu kedua ini berpendapat, dalam naungan Kerajaan Majapahit, yang
notabene Shiva Buddha, ummat Islam diberikan kebebasan untuk melaksanakan
ibadah agamanya. Bahkan, syari’at Islam pun boleh dijalankan didaerah-daerah
tertentu.
Bibit perpecahan didalam orang-orang
Islam sendiri mulai muncul.Hal ini hanya bagaikan
api dalam sekam ketika Sunan Ampel masih hidup. Kelak, ketika Majapahit
berhasil dijebol oleh para militant Islam dan ketika Sunan Ampel sudah wafat,
kedua kubu ini terlibat pertikaian frontal yang berdarah-darah (Yang
paling parah dan memakan banyak korban, sampai-sampai para investor dari
Portugis melarikan diri ke Malaka dan menceritakan di Jawa tengah terjadi
situasi chaos dan anarkhis yang mengerikan, adalah pertikaian antara Arya
Penangsang, santri Sunan Kudus, penguasa Jipang Panolan dari kubu Putihan
dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet, santri dari Sunan Kalijaga, penguasa
Pajang dari kubu Abangan.
Berdirinya Ponorogo
Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker,
sebenarnya masih keturunan bangsawan Majapahit. Beliau masih keturunan Raden
Kudha Merta, ksatria dari Pajajaran yang melarikan diri bersama Raden
Cakradhara. Raden Kudha Merta berhasil menikah dengan Shri Gitarja, putri Raden
Wijaya, Raja Pertama Majapahit. Sedangkan Raden Cakradhara berhasil menikahi
Tribhuwanatunggadewi, kakak kandung Shri Gitarja.
Dari perkawinan antara Raden Cakradhara
dengan Tribhuwanatunggadewi inilah lahir Prabhu Hayam Wuruk yang terkenal itu.
Sedangkan Raden Kudha Merta, menjadi penguasa daerah Wengker, yang sekarang
dikenal dengan nama Ponorogo.
Ki Ageng Kutu adalah keturunan dari
Raden Kudha Merta dan Shri Gitarja. Melihat Majapahit, dibawah pemerintahan
Prabhu Brawijaya bagaikan harimau yang kehilangan taringnya, Ki Ageng Kutu,
memaklumatkan perang dengan Majapahit.
Prabhu Brawijaya atau Prabhu Kertabhumi
menjawab tantangan Ki Ageng Kutu dengan mengirimkan sejumlah pasukan tempur
Majapahit dibawah pimpinan Raden Bathara Katong, putra selir beliau.
Peperangan terjadi. Pasukan Majapahit
terpukul mundur. Hal ini disebabkan, banyak para prajurid Majapahit yang
membelot dari kesatuannya dan memperkuat barisan Wengker. Pasukan yang dipimpin
Raden Bathara Katong kocar-kacir.
Raden Bathara Katong yang merasa malu
karena telah gagal menjalankan tugas Negara, konon tidak mau pulang ke
Majapahit. Dia bertekad, bagaimanapun juga, Wengker harus ditundukkan. Inilah
sikap seorang Ksatria sejati.
Ada seorang ulama Islam yang tinggal di
Wengker yang mengamati gejolak politik itu. Dia bernama Ki Ageng Mirah. Situasi
yang tak menentu seperti itu, dimanfaatkan olehnya. Dia mendengar Raden Bathara
Katong tidak pulang ke Majapahit, dia berusaha mencari kebenaran berita itu.
Dan usahanya menuai hasil. Dia berhasil menemukan tempat persembunyian Raden
Bathara Katong.
Dia menawarkan diri bisa memberikan
solusi untuk menundukkan Wengker karena dia sudah lama tinggal disana. Raden
Bathara Katong tertarik. Namun diam-diam, Ki Ageng Mirah, menanamkan doktrin
ke-Islam-an dibenak Raden Bathara Katong. Jika ini berhasil, setidaknya
peng-Islam-an Wengker akan semakin mudah, karena Raden Bathara Katong mempunyai
akses langsung dengan militer Majapahit. Jika-pun tidak berhasil membuat Raden
Bathara Katong memeluk Islam, setidaknya, kelak dia tidak akan melupakan
jasanya telah membantu memberitahukan titik kelemahan Wengker. Dan bila itu
terjadi, Ki Ageng Mirah pasti akan menduduki kedudukan yang mempunyai akses
luas menyebarkan Islam di Wengker.
Dan ternyata, Raden Bathara Katong
tertarik dengan agama baru itu. Selanjutnya, Ki Ageng Mirah mengatur
rencana. Raden Bathara Katong harus pura-pura meminta suaka politik di Wengker.
Raden Bathara Katong harus mengatakan untuk memohon perlindungan kepada Ki
Ageng Kutu. Dia harus pura-pura membelot dari pihak Majapahit.
Ki Ageng Kutu pasti akan menerima
pengabdian Raden Bathara Katong. Ki Ageng Kutu pasti akan senang melihat Raden
Bathara Katong telah membelot dan kini berada di fihaknya. Manakala rencana itu
sudah berhasil, Raden Bathara Katong harus mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, putri sulung Ki Ageng
Kutu sebagai istri. Mengingat status Raden Bathara
Katong sebagai seorang putra Raja Majapahit, lamaran itu pasti akan disambut
gembira oleh Ki Ageng Kutu..
Dan bila semua rencana berjalan mulus,
Raden Bathara Katong harus mampu menebarkan pengaruhnya kepada kerabat Wengker.
Dia harus jeli dan teliti mengamati titik kelemahan Wengker. Ni Ken Gendhini, putri Ki Ageng Kutu bisa dimanfaatkan
untuk tujuan itu.
Bila semua sudah mulus berjalan, dan
bila waktunya sudah tepat, maka Raden Bathara Katong harus sesegera mungkin
mengirimkan utusan ke Majapahit untuk meminta pasukan tempur tambahan.
Bila semua berjalan lancar, Wengker
pasti jatuh!
Raden Bathara Katong melaksanakan semua
rencana yang disusun Ki Ageng Mirah. Dan atas kelihaian Raden Bathara Katong,
semua berjalan lancar.
Ki Ageng Kutu, yang merasa masih
mempunyai hubungan kekerabatan jauh dengan Raden Bathara Katong, dengan suka
rela berkenan memberikan suaka politik kepadanya. Ditambah, ketika Raden
Bathara Katong mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, Ki
Ageng Kutu serta merta menyetujuinya.
Rencana bergulir. Umpan sudah dimakan.
Tinggal menunggu waktu.
Ni Ken Gendhini mempunyai dua orang adik
laki-laki :
1.
Sura Menggala. (sampai sekarang
menjadi tokoh kebanggaan masyarakat Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok
Suromenggolo)
2.
Sura Handaka.
Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala
berhasil masuk pengaruh Raden Bathara Katong, sedangkan Sura Handaka tidak.
Raden Bathara Katong berhasil mengungkap
segala seluk-beluk kelemahan Wengker dari Ni Ken Gendhini. Inilah yang
diceritakan secara simbolik dengan dicurinya Keris Pusaka Ki Ageng Kutu, yang
bernama Keris Kyai Condhong Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian diserahkan
kepada Raden Bathara Katong.
Condhong Rawe hanya metafora.
- Condhong berarti Melintang (Vertikal),
dan …
- Rawe berarti Tegak (Horisontal).
Arti sesungguhnya adalah : kekuatan yang
tegak dan melintang dari seluruh pasukan Wengker, telah berhasil diketahui
secara cermat oleh Raden Bathara Katong atas bantuan Ni Ken Gendhini. Struktur
kekuatan militer ini sudah bisa dibaca dan diketahui semuanya.
Dan manakala waktu sudah dirasa tepat,
dengan diam-diam, dikirimkannya utusan kepada Ki Ageng Mirah. Utusan ini
menyuruh Ki Ageng Mirah, atas nama Raden Bathara Katong, memohon tambahan
pasukan tempur ke Majapahit.
Mendapati kabar Raden Bathara Katong
masih hidup, Prabhu Brawijaya segera memenuhi permintaan pengiriman pasukan
baru.
Majapahit dan Wengker diadu!
Majapahit dan Wengker tidak menyadari,
ada pihak ketiga bermain disana! Ironis
sekali.
Peperangan kembali pecah. Ki Ageng Kutu
yang benar-benar merasa kecolongan, dengan marah mengamuk dimedan laga bagai
bantheng ketaton, bagai banteng yang terluka. Demi Dharma, dia rela menumpahkan
darahnya diatas bumi pertiwi. Walau harus lebur menjadi abu, Ki Ageng Kutu,
beserta segenap pasukan Wengker, maju terus pantang mundur!
Namun bagaimanapun, seluruh struktur
kekuatan Wengker telah diketahui oleh Raden Bathara Katong. Pasukan Wengker,
yang terkenal dengan nama Pasukan Warok itu terdesak hebat! Namun, Ki Ageng
Kutu beserta seluruh pasukannya telah siap untuk mati. Siap mati habis-habisan!
Siap menumpahkan darahnya diatas hamparan pangkuan ibu pertiwi! Dengan gagh berani,
pasukan ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan Majapahit.
Banyak kepala pasukan Majapahit yang
menangis melihat mereka harus bertempur dengan saudara sendiri. Banyak yang
meneteskan air mata, melihat mayat-mayat prajurid Wengker bergelimpangan
bermandikan darah. Dan pada akhirnya, Wengker berhasil dijebol. Wengker
berhasil dihancurkan!
Darah menetes! Darah membasahi ibu pertiwi.
Darah harum para ksatria sejati yang benar-benar tulus menegakkan Dharma! Alam
telah mencatatnya! Alam telah merekamnya!
Kabar kemenangan itu sampai di
Majapahit. Namun, Prabhu Brawijaya berkabung mendengar kegagahan pasukan
Wengker. Mendengar kegagahan Ki Ageng Kutu. Seluruh Pejabat Majapahit
berkabung. Sabda Palon dan Naya Genggong berkabung. Kabar kemenangan itu
membuat Majapahit bersedih, bukannya bersuka cita.
Para pejabat Majapahit menagis sedih
melihat sesama saudara harus saling menumpahkan darah karena campur tangan
pihak ketiga, karena disebabkan adanya pihak ketiga. Ki Ageng Kutu adalah seorang Ksatria yang gagah
berani. Ki Ageng Kutu adalah salah satu sendi kekuatan militer Majapahit. Kini,
Ki Ageng Kutu harus gugur ditangan pasukan Majapahit sendiri. Betapa tidak
memilukan!
Kadipaten Wengker kini dikuasai oleh
Raden Bathara Katong. Surat pengukuhan telah diterima dari pusat. Dan Wengker
lantas dirubah namanya menjadi Kadipaten Ponorogo. Wengker yang Shiva Buddha,
kini telah berhasil menjadi Kadipaten Islam.
Kubu Abangan
Seorang ulama berdarah Majapahit, yang
lahir di Kadipaten Tuban, yang sangat dikenal dikalangan masyarakat Jawa yaitu
Sunan Kalijaga, mati-matian membendung gerakan militansi Islam. Beliau
seringkali mengingatkan, bahwasanya membangun
akhlaq lebih penting daripada mendirikan sebuah Negara Islam.
Sunan
Kalijaga adalah putra Adipati Tuban, Arya Teja. Adipati Arya Teja adalah
keturunan Senopati Agung Majapahit masa lampau, Adipati Arya Ranggalawe yang
berhasil memimpin pasukan Majapahit mengalahkan pasukan Tiongkok Mongolia yang
hendak menguasai Jawa (Adipati Arya Ranggalawe adalah salah satu tangan
kanan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit)
Adipati Arya Teja berhasil di Islamkan
oleh Sunan Ampel. Bahkan kakak kandung beliau dinikahi Sunan Ampel. Dari
pernikahan Sunan Ampel dengan kakak kandung Adipati Arya Teja, lahirlah Sunan
Bonang, Sunan Derajat, Sunan Lamongan, dan lima putri yang lain (seperti
yang telah saya tulis pada bagian pertama).
Para pengikut Sunan Giri yang tidak
sepaham dengan para pengikut Sunan Kalijaga, sering terlibat konflik-konflik
terselubung. Di pihak Sunan Giri, banyak ulama yang bergabung, seperti Sunan
Derajat, Sunan Lamongan, Sunan Majagung (sekarang dikenal dengan Sunan
Bejagung), Sunan Ngundung dan putranya Sunan Kudus, dll.
Dipihak Sunan Kalijaga, ada Sunan
Murya (sekarang dikenal dengan nama Sunan Muria), Syeh Jangkung,
Syeh Siti Jenar, dll.
Khusus mengenai Syeh Siti Jenar atau
juga disebut Sunan Kajenar, beliau adalah ulama murni yang menekuni
spiritualitas. Beliau sangat-sangat tidak menyetujui gerakan kaum Putih yang
merencanakan berdirinya Negara Islam Jawa.
Pertikaian ini mencapai puncaknya
ketika Syeh Siti Jenar, menyatakan keluar dari
Dewan Wali Sangha. Syeh Siti Jenar menyatakan terpisah
dari Majelis Ulama Jawa itu. Beliau tidak mengakui lagi Sunan Ampel sebagai
seorang Mufti.
Didaerah Cirebon, Syeh Siti Jenar banyak
memiliki pengikut. Manakala menjelang awal tahun 1478,
Sunan Ampel wafat dan kedudukan Mufti digantikan oleh Sunan Giri, keberadaan
Syeh Siti Jenar dianggap sangat membahayakan Islam.
Semua dinamika ini, terus diamati oleh
intelejen Majapahit. Gerakan-gerakan militansi Islam mulai merebak dipesisir
utara Jawa. Mulai Gresik, Tuban, Demak, Cirebon dan Banten. Para pejabat daerah
telah mengirimkan laporan kepada Prabhu Brawijaya. Tapi Prabhu Brawijaya tetap
yakin, semua masih dibawah kontrol beliau.
Keturunan di Pengging
Pernikahan Dewi Anarawati dengan Prabhu
Brawijaya semakin dikukuhkan dengan diangkatnya putri Champa ini sebagai
permaisuri.Keputusan yang sangat luar biasa ini
menuai protes. Kesuksesan besar bagi Dewi Anarawati membuat para pejabat
Majapahit resah. Bisa dilihat jelas disini, bila kelak Prabhu Brawijaya wafat,
maka yang akan menggantikannya sudah pasti putra dari seorang permaisuri. Dan
sang permaisuri beragama Islam. Dapat dipastikan, Majapahit akan berubah
menjadi Negara Islam.
Dari luar Istana, Sunan Giri menyusun
strategi memperkuat barisan militansi Islam. Dari dalam Istana, Dewi Anarawati
mempersiapkan rencana yang brilian. Jika Sunan Giri gagal merebut Majapahit
dengan cara pemberontakan, dari dalam istana, Majapahit sudah pasti bisa
dikuasai oleh Dewi Anarawati. Bila rencana pertama gagal, rencana kedua masih
bisa berjalan.
Tapi ternyata, apa yang diharapkan Dewi
Anarawati menuai hambatan. Dari hasil perkawinannya dengan Prabhu Brawijaya,
lahirlah tiga orang anak :
1.
Yang sulung seorang putri, dinikahkan dengan
Adipati Handayaningrat IV, penguasa Kadipaten Pengging (sekitar daerah
Solo, sekarang Jawa Tengah),
2.
Putra kedua bernama Raden Lembu Peteng,
berkuasa di Madura, dan
3.
Yang ketiga Raden Gugur, masih kecil dan
tinggal di Istana.(Kelak, Raden Gugur inilah yang terkenal dengan julukan
Sunan Lawu, dipercaya sebagai penguasa mistik Gunung Lawu, yang terletak
didaerah Magetan, hingga sekarang.)
Hambatan yang dituai Dewi Anarawati
adalah, putri sulungnya tidak tertarik memeluk Islam, begitu juga dengan Raden
Gugur. Hanya Raden Lembu Peteng yang mau memeluk Islam.
Dari pernikahan putri sulung Dewi
Anarawati dengan Adipati Handayaningrat IV, lahirlah dua orang putra :
1.
Kebo Kanigara, dan …
2.
Kebo Kenanga.
Keduanya juga tidak tertarik memeluk
Islam. Si sulung bahkan pergi meninggalkan kemewahan Kadipaten dan menjadi
seorang pertapa di Gunung Merapi (sekarang didaerah Jogjakarta).
Sampai sekarang, petilasan bekas pertapaan beliau masih ada dan berubah menjadi
sebuah makam yang seringkali diziarahi.
Otomatis, yang kelak menggantikan
Adipati Handayaningrat IV sebagai Adipati Pengging, bahkan juga jika Prabhu
Brawijaya mangkat, tak lain adalah adik Kebo Kanigara, yaitu Kebo Kenanga.
Kelak, dia akan mendapat limpahan tahta Pengging maupun Majapahit! Inilah
pewaris sah tahta Majapahit. Kebo Kenanga lantas dikenal dengan nama Ki Ageng
Pengging.
Ki Ageng Pengging sangat akrab dengan
Syeh Siti Jenar. Keduanya, yang satu beragama Shiva Buddha dan yang satu
beragama Islam, sama-sama tertarik mendalami spiritual murni. Mereka berdua
seringkali berdiskusi tentang KEBENARAN SEDJATI. Dan hasilnya, tidak ada perbedaan diantara Shiva Buddha dan Islam.
Namun kedekatan mereka ini disalah
artikan oleh ulama-ulama radikal yang masih melihat kulit, masih melihat
perbedaan. Syeh Siti Jenar dituduh mendekati Ki Ageng Pengging untuk mencari
dukungan kekuatan. Dan konyolnya, Ki Ageng Pengging dikatakan sebagai murid
Syeh Siti Jenar yang hendak melakukan pemberontakan ke Demak Bintara. Padahal Ki Ageng Pengging tidak tertarik dengan tahta.
Walaupun sesungguhnya, memang benar
bahwa beliau lah yang lebih berhak menjadi Raja Majapahit kelak ketika
Majapahit berhasil dihancurkan oleh Raden Patah Dan juga, Ki Ageng Pengging bukanlah seorang muslim. Beliau
dengan Syeh Siti Jenar hanyalah seorang ‘sahabat spiritual’. Hubungan seperti
ini, tidak akan bisa dimengerti oleh mereka yang berpandangan dangkal. Ki Ageng Pengging dan Syeh
Siti Jenar adalah seorang spiritualis sejati. Kelak, setelah Majapahit berhasil
dihancurkan para militant Islam, dua orang sahabat ini menjadi target utama
untuk dimusnahkan. Baik Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging gugur karena
korban kepicikan.
Dan, nama Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar dibuat
hitam.Sampai sekarang, nama keduanya masih
terus dihakimi sebagai dua orang yang sesat dikalangan Islam. Namun
bagaimanapun juga,keharuman nama keduanya tetap terjaga
dikisi-kisi hati tersembunyi masyarakat Jawa,
walaupun tidak ada yang berani menyatakan kekagumannya secara terang-terangan.
Sungguh IRONIS!
Dari Ki Ageng Pengging inilah, lahir
seorang tokoh terkenal di Jawa. Yaitu Mas Karebet atau Jaka Tingkir. Dan kelak
menjadi Sultan Pajang setelah Demak hancur dengan gelar Sultan Adiwijaya.
Keturunan di Tarub
Dikisahkan secara vulgar, suatu ketika
Prabhu Brawijaya terserang penyakit Rajasinga atau syphilis. Para Tabib Istana
sudah bekerja keras berusaha menyembuhkan beliau, tapi penyakit beliau tetap
membandel.
Atas inisiatif beliau sendiri, setiap
malam beliau tidur di areal Pura Keraton. Memohon kepada Mahadewa agar diberi
kesembuhan. Dan konon, setelah beberapa malam beliau memohon, suatu malam,
beliau mendapat petunjuk sangat jelas.
Dalam keheningan meditasinya,
lamat-lamat beliau ‘mendengar’ suara …
“Jika engkau ingin
sembuh, nikahilah seorang pelayan wanita berdarah Wandhan.Dan, inilah kali
terakhir engkau boleh menikah lagi.”
Mendapat ‘wisik’ yang sangat jelas
seperti itu, Prabhu Brawijaya termangu-mangu. Dan beliau teringat, di Istana
ada beberapa pelayan Istana yang berasal dari daerah Wandhan (Bandha
Niera, didaerah Sulawesi).
Keesokan harinya, beliau memanggil para
pelayan istana dari daerah Wandhan. Beliau memilih yang paling cantik. Ada
seorang pelayan dari Wandhan, bernama Dewi Bondrit Cemara, sangat cantik. Diambillah
dia sebagai istri selir. Dikemudian hari, Dewi Bondrit Cemara dikenal dengan
nama Dewi Wandhan Kuning.
Begitu menikahi Dewi Wandhan Kuning, dan
setelah melakukan senggama beberapa kali, penyakit Sang Prabhu berangsur-angsur
sembuh.
Namun Sang Prabhu merasa perkawinannya
dengan Dewi Wandhan Kuning harus dirahasiakan. Karena apabila kabar ini
terdengar sampai ke daerah Wandhan, pasti para bangsawan Sulawesi merasa
terhina oleh sebab Sang Prabhu bukannya mengambil salah seorang putri bangsawan
Wandhan, tapi malah mengambil seorang pelayan.
Dewi Wandhan Kuning mengandung, hingga
akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki, putra ini lantas dititipkan kepada
Kepala Urusan Sawah Istana, Ki Juru Tani. (Waktu itu, Istana memiliki
areal pesawahan khusus yang hasilnya untuk dikonsumsi oleh seluruh kerabat
Istana.)
Anak ini diberi nama Raden Bondhan Kejawen (Bondhan perubahan dari kata Wandhan. Kejawen
berarti yang telah berdarah Jawa)
Raden Bondhan Kejawen dibesarkan oleh Ki
Juru Tani. Dan manakala sudah berangsur dewasa, atas perintah Sang Prabhu,
Raden Bondhan Kejawen dikirimkan kepada Ki Ageng Tarub, seorang Pandhita Shiva
yang memiliki Ashrama di daerah Tarub (sekitar Purwodadi, Jawa Tengah
sekarang)
Jika anda pernah mendengar legenda Jaka
Tarub dan Dewi Nawangwulan, maka inilah dia. Jaka Tarub yang konon mencuri
selendang bidadari Dewi Nawangwulan dan lantas ditinggal oleh sang bidadari
setelah sekian lama menjadi istri beliau karena ketahuan bahwa yang
menyembunyikan selendang itu adalah Jaka Tarub sendiri. (penulis tidak
akan membedah simbolisasi legenda ini disini, karena tidak sesuai dengan topic
yang penulis bahas).
Jaka Tarub inilah yang lantas dikenal
dengan nama Ki Ageng Tarub. Menginjak dewasa, Raden Bondhan Kejawen dinikahkan
dengan Dewi Nawangsih, putri tunggal Ki Ageng Tarub. Dan kelak Raden Bondhan
Kejawen bergelar Ki Ageng Tarub II.
Dari hasil perkawinan Raden Bondhan
Kejawen dengan Dewi Nawangsih, lahirlah Raden Getas Pandhawa. Dari Raden Getas
Pandhawa, lahirlah Ki Ageng Sela yang hidup sejaman dengan Sultan Trenggana,
Sultan Demak ketiga. Ki Ageng Sela inilah tokoh yang konon bisa memegang petir
sehingga menggegerkan seluruh Kesultanan Demak (simbolisasi lagi,
kapan-kapan penulis ulas).
Sampai sekarang nama Ki Ageng Sela terkenal
di tengah masyarakat Jawa. Ki Ageng Sela inilah keturunan Tarub yang mulai
beralih memeluk Islam. Beliau berguru kepada
Sunan Kalijaga. Perpindahan agama ini berjalan
dengan damai. Nama Islam beliau adalah Ki
Ageng Abdul Rahman.
Dari
Ki Ageng Sela, lahirlah Ki Ageng Mangenis Sela. Dari Ki Ageng Mangenis Sela,
lahirlah Ki Ageng Pamanahan. Dan dari Ki Ageng Pamanahan lahirlah Panembahan Senopati Ing Ngalaga, tokoh terkenal pendiri dinasti Mataram Islam
dikemudian hari. (Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mataram inilah
leluhur Para Sultan Kasultanan Jogjakarta, Para Sunan Kasunanan Surakarta
(Solo), Pakualaman dan Mangkunegaran sekarang)
Peng-Islam-an keturunan Raden Bondhan
Kejawen, berlangsung dengan damai.
Raden Patah
Ingat putri China Tan Eng Kian yang
dinikahi Adipati Arya Damar di Palembang?
Dari hasil pernikahan dengan Prabhu
Brawijaya, Tan Eng Kian memiliki seorang putra bernama Tan Eng Hwat. Dikenal
juga dengan nama muslim Raden Hassan. Dari perkawinan Tan Eng Kian dengan Arya
Damar sendiri, lahirlah seorang putra bernama Kin Shan, dikenal dengan nama
muslim Raden Hussein.
Sejak kecil, Raden Hassan dan Raden
Hussein dididik secara Islam oleh ayahnya Arya Damar. Menjelang dewasa, Raden
Hassan memohon ijin kepada ibunya untuk pergi ke Jawa. Dia berkeinginan untuk
bertemu dengan ayah kandungnya, Prabhu Brawijaya.
Tan Eng Kian tidak bisa menghalangi
keinginan putranya. Dari Palembang, Raden Hassan bertolak ke Jawa. Sampailah ia
di pelabuhan Gresik yang ramai. Melihat keadaan Gresik yang hiruk-pikuk, Raden
Hassan kagum. Dia bisa membayangkan bagaimana besarnya kekuasaan Majapahit.
Menilik di Gresik banyak orang muslim, Raden Hassan tertarik.
Dan dengar-dengar, ada Pesantren besar
disana. Pesantren Giri. Raden Hassan memutuskan untuk bertandang ke Giri.
Bertemulah dia dengan Sunan Giri. Sunan Giri senang melihat kedatangan Raden
Hassan setelah mengetahui dia adalah putra Prabhu Brawijaya yang lahir di
Palembang. Sunan Giri seketika melihat sebuah peluang besar.
Di Giri, Raden Hassan memperdalam
ke-Islaman-nya. Disana, Raden Hassan mulai tertarik dengan ide-ide
ke-Khalifah-an Islam. Dan militansi Raden Hassan mulai terbentuk. Ada kesepakatan pemahaman antara Raden Hassan dengan
Sunan Giri.
Dari Sunan Giri, Raden Hassan memperoleh
ide untuk meminta daerah otonomi khusus kepada ayahnya, Prabhu Brawijaya. Bila
disetujui, hendaknya Raden Patah memilih daerah di pesisir Jawa bagian tengah.
Jika itu terwujud, keberadaan daerah otonomi didaerah pesisir utara Jawa bagian
tengah, akan menjadi penghubung pergerakan militant Islam dari Jawa Timur dan
Jawa Barat di Cirebon.
Cirebon, kini tumbuh pesat sebagai pusat
kegiatan Islam dibawah pimpinan Pangeran Cakrabhuwana, putra kandung Prabhu
Siliwangi, Raja Pajajaran. (Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
belum datang dari Mesir ke Cirebon. Dia datang pada tahun 1475 Masehi. Pada
bagian selanjutnya akan saya ceritakan)
Setelah dirasa cukup, Raden Hassan
melanjutkan perjalanan ke Pesantren Ampel dengan diiringi beberapa santri Sunan
Giri. Disana dia disambut suka cita oleh Sunan Ampel. Disana, dia diberi nama
baru oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Abdul Fattah yang lantas dikenal masyarakat
Jawa dengan nama Raden Patah.
Selesai
bertandang di Ampel, Raden Hassan yang kini dikenal dengan nama Raden Patah
melanjutkan perjalanan ke ibu kota Negara Majapahit. Dia yang semula hanya
berniat untuk bertemu dengan ayahnya, sekarang dia telah membawa misi tertentu.
Betapa suka cita Prabhu Brawijaya
mendapati putra kandungnya telah tumbuh dewasa. Dan manakala, Raden Patah
memohon anugerah untuk diberikan daerah otonom, Prabhu Brawijaya
mengabulkannya. Raden Patah meminta daerah pesisir utara Jawa bagian tengah.
Dia memilih daerah yang dikenal dengan nama Glagah Wangi.
Prabhu Brawijaya menyetujui permintaan
Raden Patah. Dia mendanai segala keperluan untuk membangun daerah baru. Raden Patah, dengan disokong tenaga dan dana
dari Majapahit, berangkat ke Jawa Tengah. Di daerah pesisir utara, didaerah
yang dipenuhi tumbuhan pohon Glagah, dia membentuk pusat pemerintahan Kadipaten
baru. Begitu pusat Kadipaten dibentuk, dinamailah tempat itu Demak Bintara. Dan
Raden Patah, dikukuhkan oleh Sang Prabhu Brawijaya sebagai penguasa wilayah
otonom Islam baru disana.
Demak Bintara berkembang pesat. Selain
menjadi pusat kegiatan politik, Demak Bintara juga menjadi pusat kegiatan
keagamaan. Demak Bintara menjadi jembatan penghubung antara barat dan timur
pesisir utara Jawa.
Dipesisir utara Jawa, gerakan-gerakan
militant Islam mulai menguat. Sayang, fenomena itu tetap dipandang sepele oleh
Prabhu Brawijaya. Beliau tetap yakin, dominasi Majapahit masih mampu mengontrol
semuanya. Padahal para pejabat daerah yang dekat dengan pesisir utara sudah
melaporkan adanya kegiatan-kegiatan yang mencurigakan. Pasukan Telik Sandhibaya
telah memberikan laporan serius tentang adanya kegiatan yang patut dicurigai
akan mengancam kedaulatan Majapahit.
Tak lama berselang, Raden Hussein, putra
Tan Eng Kian dengan Arya Damar, menyusul ke Majapahit. Dia mengabdikan diri
sebagai tentara di Majapahit. Raden Hussein tidak terpengaruh ide-ide pendirian
ke-Khalifah-an Islam. Dia diangkat sebagai Adipati didaerah Terung(Sidoarjo,
sekarang) dengan gelar, Adipati Pecattandha.
Kebaikan Prabhu Brawijaya sangat besar
sebenarnya. Tapi kebaikan yang tidak disertai kebijaksanaan bukanlah kebaikan.
Dan hal ini pasti akan menuai masalah dikemudian hari. Bibit-bibit itu mulai
muncul, tinggal menunggu waktu untuk pecah kepermukaan.
Dan Prabhu Brawijaya tidak akan pernah
menyangkanya.
Mendekati detik-detik pemberontakan
Demak Bintara berkembang pesat. Tempat
ini dirasa strategis untuk pengembangan militansi Islam karena letaknya agak
jauh dari pusat kekuasaan. Di Demak Bintara, para ulama-ulama Putihan sering
mengadakan pertemuan. Jadilah Demak Bintara dikenal sebagai Kota Seribu Wali.
Ditambah pada tahun 1475 Masehi, seorang
ulama berdarah Mesir-Sunda datang dari Mesir. Dia adalah Syarif Hidayatullah.
Dia datang bersama ibunya Syarifah Muda’im. Syarifah Muda’im adalah putri
Pajajaran. Putri dari Prabhu Silihwangi penguasa Kerajaan Pejajaran.(Hanya
Kerajaan ini yang tidak masuk wilayah Majapahit. Walau kecil, Pajajaran
terkenal kuat. Anda bisa membayangkan adanya Timor Leste sekarang. Seperti
itulah keadaan Majapahit dan Pajajaran).
Nama asli Syarifah Muda’im adalah Dewi Rara
Santang. Dia bersama kakaknya Pangeran Walangsungsang, tertarik mempelajari
Islam. Ketika berada di Makkah, Dewi Rara Santang dipinang oleh bangsawan
Mesir, Syarif Abdullah. Menikahlah Dewi Rara Santang dengan bangsawan ini. Dan
namanya berganti Syarifah Muda’im. Dari pernikahan ini, lahirlah Syarif
Hidayatullah.
Pangeran Walang Sungsang, mendirikan
daerah hunian baru di pesisir utara Jawa barat. Dikenal kemudian dengan nama
Tegal Alang-Alang. Lantas berubah menjadi Caruban. Berubah lagi menjadi Caruban
Larang. Pada akhirnya, dikenal dengan nama Cirebon sampai sekarang.
Pangeran Walang Sungsang, dikenal
kemudian dengan nama Pangeran Cakrabhuwana. Oleh ayahandanya, Prabhu Silihwangi
diberikan gelar kehormatan Shri Manggana.
Awal
tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Sunan Giri terpilih sebagai penggantinya. Pusat
Majelis Ulama Jawa kini berpindah ke Giri Kedhaton. Dan, pada waktu inilah
tragedi Syeh Siti Jenar terjadi. Syeh Siti Jenar dipanggil ke Giri Kedhaton dan
disidang oleh Dewan Wali Sangha dibawah pimpinan Sunan Giri. Walau tidak
mengakui keberadaan Majelis Ulama Jawa, beliau tetap hadir. Beliau dituduh
telah menyebarkan aliran sesat. Adapula yang menuduh sebagai antek-antek
Syi’ah. Ada juga yang mengatakan beliau ahli sihir, dan lain sebagainya. (Akan
penulis buat catatan tersendiri tentang beliau).
Pada sidang pertama para ulama yang
tergabung dalam Dewan Wali Sangha tidak bisa menemukan kesalahan Syeh Siti
Jenar. Sehingga, beliau lantas dibebaskan dari segala tuduhan. Namun
bagaimanapun juga, Syeh Siti Jenar adalah duri didalam daging bagi mereka. Maka
sejak saat itu, kesalahan-kesalahan beliau senantiasa dicari-cari.
Konsentrasi Dewan Wali Sangha terpecah
pada rencana perebutan kekuasaan. Melalui serangkaian musyawarah yang pelik,
maka disimpulkan, kekuatan militansi Islam sudah cukup siap untuk mengadakan
perebutan kekuasaan. Raden Patah, Adipati Demak Bintara, terpilih secara mutlak
sebagai pemimpin gerakan.
Kubu Abangan, tidak menghadiri
musyawarah ini. Apalagi semenjak Dewan Wali Sangha atau Majelis Ulama Jawa
dipegang Sunan Giri, hubungan kubu Putihan dan kubu Abangan kian meruncing.
Sunan Kalijaga dan para pengikutnya
hanya mau membantu Dewan Wali Sangha merampungkan pembangunan Masjid Demak.
Selebihnya, mereka tidak ikut campur.
Persiapan
sudah matang. Tinggal memilih hari yang ditentukan. Pasukan Telik
Sandhibaya (Intelejen) Majapahit mengendus rencana ini. Prabhu
Brawijaya mendapat laporan para pasukan Intelejen yang ada disekitar Demak
Bintara. Sayangnya, beliau tidak begitu mempercayainya. Beliau berkeyakinan,
tidak mungkin Raden Patah, putra kandungnya sendiri akan nekad berbuat seperti
itu. Prabhu Brawijaya tidak memahami betapa militant-nya orang yang sudah
terdoktrin!
Dan manakala pergerakan pasukan
besar-besaran terdengar, yaitu pasukan orang-orang Islam Putihan, gabungan dari
seluruh lasykar yang ada di wilayah pesisir utara Jawa timur sampai Jawa barat
mulai bergerak. Keadaan menjadi gempar! Para Pejabat daerah kalang kabut.
Mereka tidak menyangka orang-orang Islam sedemikian banyaknya.
Setiap daerah yang dilalui pasukan ini,
tidak ada yang bisa membendung. Kekuatan mereka cukup besar. Persiapan mereka
cukup tertata. Sedangkan daerah-daerah yang dilalui, tidak mempunyai persiapan
sama sekali. Daerah per-daerah yang dilewati, harus melawan sendiri-sendiri.
Tidak ada penyatuan pasukan dari daerah satu dengan daerah lain. Semua serba
mendadak. Dan tak ada pilihan lain kecuali melawan atau mundur teratur.
Gerakan pasukan ini cukup kuat. Para Adipati
yang berhasil mundur segera melarikan diri ke ibu kota Negara. Mereka
melaporkan agresi mendadak pasukan pesisir yang terdiri dari orang-orang Islam
itu.
Dan dari mereka, Prabhu Brawijaya
mendapat laporan yang mencengangkan, yaitu telah terjadi pergerakan pasukan
dari Demak Bintara. Pasukan berpakaian putih-putih. Berbendera tulisan asing!
Berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak dimengerti! Pasukan ini dapat
dipastikan adalah pasukan orang-orang Islam. Dan kini, tengah bergerak menuju
ibu kota Negara Majapahit.
Percaya tidak percaya Prabhu Brawijaya
mendengarnya. Laporan pasukan Telik Sandhibaya selama ini telah menjadi
kenyataan.. Namun, Prabhu Brawijaya tetap tidak bisa mengerti, mana mungkin
Raden Patah berbuat seperti itu. Mana mungkin orang-orang Islam berani dan tega
mengadakan pemberontakan. Selama ini, Majapahit telah memberikan bantuan
material yang tidak sedikit bagi mereka. Sesak! Dada Prabhu Brawijaya seketika
serasa sesak bagai dihantam palu! Bergemuruh mendidih! Beliau menyebut Nama Mahadeva
berkali-kali.
Seluruh pembesar Majapahit tegang.
Mereka menantikan komando Sang Prabhu. Waktu berjalan cepat. Sang Prabhu masih
belum mengeluarkan titah apapun. Pergerakan pasukan sudah memasuki Madiun,
sebentar lagi mencapai wilayah Kadhiri, sudah teramat dekat dengan ibu kota
Negara. Pertempuran- pertempuran penghadangan telah terjadi secara otomatis.
Dan semua telah masuk menjadi laporan bagi Sang Prabhu.
Bahkan ada laporan yang menyatakan,
beberapa daerah yang terpengaruh Islam, malah ikut bergabung dengan pasukan
ini.
Adipati Kertosono (sekarang
wilayah Kediri) mengirinkan utusan khusus kepada Sang Prabhu untuk
segera mengeluarkan perintah perang!
Sang Prabhu masih termangu-mangu. Dan
manakala terdengar Adipati Kertosono melakukan perlawanan mati-matian tanpa
menunggu komando beliau, barulah Sang Prabhu tersadar! Segera beliau
memerintahkan seluruh pasukan Majapahit untuk mempersiapkan sebuah perang
besar!
Para Panglima yang telah
menanti-nantikan perintah ini menyambut dengan suka cita! Inilah yang mereka
nanti-nantikan! Tanpa menunggu waktu lama, seluruh kekuatan Majapahit segera
dipersiapkan.
Pasukan Majapahit telah siap sedia
menyambut kedatangan pasukan Demak Bintara. Dan sekali lagi, mereka tinggal
menunggu perintah untuk MENYERANG!
Dan komando terakhir inipun tidak segera
keluar. Pasukan Majapahit resah. Para Panglima cemas. Para kepala pasukan
tempur digaris depan terus mendesak kepada Para Panglima masing-masing agar
segera mengeluarkan perintah penyerangan!
Para Panglima juga mendesak Sang Senopati
Agung, meminta kepada Prabhu Brawijaya untuk segera memberikan komando
terakhir. Perlu dicatat, salah satu panglima yang memperkuat barisan Majapahit
adalah Adipati Terung, adik tiri Raden Patah.
Dalam hatinya bertanya-tanya, ada apakah
dengan kakak tirinya sehingga mengadakan gerakan makar sedemikian rupa? Selama
ini, dia tidak melihat ada yang salah dengan pemerintahan Prabhu Brawijaya.
Tidak ada diskriminasi dalam hal keagamaan. Dirinya yang muslim-pun, bisa bebas
menjalankan ibadah agamanya. Bahkan, bisa dipercaya menjabat sebagai seorang
Adipati, yang notabene bukan jabatan main-main.
Adipati Terung tidak bisa memahami pola
pikir kakak tirinya. Dan perintah penyerangan tidak juga
segera turun. Seluruh pasukan yang sudah bersiap sedia dibarak masing-masing,
dilanda ketegangan yang luar biasa!
Di Istana, Para Mantri resah. Melihat
situasi ini, Sabda Palon dan Naya Genggong meminta Sang Prabhu untuk segera
mengeluarkan perintah. Namun apa jawaban Sang Prabhu? Beliau masih tidak yakin
pasukan Demak akan tega menyerang ibu kota Negara Majapahit. Sabda Palon dan
Naga Genggong menandaskan, cara berfikir Raden Patah dan para pasukan ini sudah
lain. Sang Prabhu tidak akan bisa memahaminya. Jalan satu-satunya sekarang
adalah, menghadapi mereka secara frontal. Pada saat ini, tidak ada cara lain.
Dan manakala kabar terdengar pasukan
Demak telah merangsak maju dan memasuki pinggiran ibu kota Majapahit, dan disana
mereka mengadakan perusakan hebat. Dengan sangat terpaksa, Sang Prabhu
mengeluarkan perintah penyerangan! Tapi, perintah itu sebenarnya telah
terlambat!
Begitu keluar perintah penyerangan, ada
hal yang tidak terduga, pasukan Ponorogo dan beberapa daerah yang lain
membelot! Diketahui kemudian ternyata mereka adalah pasukan dari daerah-daerah
yang sudah muslim.
Dan, peperangan pecah sudah!
Peperangan yang besar. Darah tertumpah lagi! Senopati Demak dipimpin oleh Sunan Ngundung. Dan
dipihak Majapahit, Senopati dipegang oleh Arya Lembu Pangarsa. Prajurid
Majapahit mengamuk dimedan laga. Para prajurid yang sudah berpengalaman tempur
ini dan disegani diseluruh Nusantara, sekarang tidak main-main lagi! Adipati
Sengguruh, Raden Bondhan Kejawen yang masih belia, Adipati Terung, Adipati
Singosari dan yang lain ikut mengamuk dimedan laga!
Sayang, banyak kesatuan-kesatuan
Majapahit yang berasal dari daerah muslim, membelot. Namun, pada hari pertama,
pasukan Demak Bintara terpukul mundur!
Pada hari kedua, pasukan Demak terpukul
lebih telak. Senopati Demak, Sunan Ngundung tewas! (Makamnya masih ada
di Trowulan, Mojokerto sampai sekarang) Pasukan Demak mengundurkan
diri. Pasukan cadangan masuk dipimpin oleh putra Sunan Ngundung, Sunan Kudus.
Pertempuran kembali pecah!
Namun bagaimanapun juga, pasukan Demak
harus mengakui kekuatan pasukan Majapahit. Mereka terpukul mundur keluar dari
ibu kota Negara. Kehebatan pasukan Majapahit yang terkenal itu, ternyata
terbukti!
Pasukan Demak bertahan. Beberapa minggu
kemudian, datang pasukan dari Palembang bergabung dengan pasukan Majapahit.
Pasukan Majapahit seolah mendapat suntikan darah segar. Namun ternyata,
bergabungnya pasukan Palembang ini hanyalah bagian dari siasat dari orang-orang
Demak.
Pasukan Palembang, diam-diam memusnahkan
seluruh persediaan bahan makanan tentara Majapahit. Lumbung-lumbung besar dibakar! Semua persediaan
bahan pangan ludes! (Inilah simbolisasi dari didatangkannya peti ajaib
milik Adipati Arya Damar dari Palembang yang apabila dibuka, mampu mengeluarkan
beribu-ribu tikus dan memakan seluruh beras dan bahan pangan tentara
Majapahit.).
Majapahit kebobolan luar dalam.
Majapahit benar-benar tidak pernah menyangka akan hal itu. Begitu persediaan
bahan pangan menipis, dari hari kehari, pelan namun pasti, pasukan Majapahit
terpukul mundur!
Mendengar pasukan Majapahit terdesak,
Kepala Pasukan Bhayangkara, yaitu Pasukan Khusus Pengawal Raja, segera
mengamankan Prabhu Brawijaya. Keadaan sudah sedemikian genting dan Sang Prabhu,
mau tidak mau, harus segera meloloskan diri. Ini harus dilakukan secepatnya,
karena untuk menyatukan kembali kekuatan tentara Majapahit kelak, sosok Prabhu
Brawijaya, masih dibutuhkan!
Dengan dikawal Pasukan Bhayangkara,
Prabhu Brawijaya segera keluar dari Istana. Pasukan Bhayangkara memutuskan agar
Sang Prabhu menyelamatkan diri ke Pulau Bali. Pulau yang kondusif untuk saat
ini.
Ditengah kekacauan itu, Dewi Anarawati,
diam-diam dibawa oleh pasukan Islam ke Gresik. Putra bungsu Dewi Anarawati,
Raden Gugur yang masih kecil, diselamatkan oleh pasukan Ponorogo dan dibawa ke
Kadipaten Ponorogo.
Dan pada akhirnya, Majapahit bisa
dijebol. Seluruh Istana dirusak dan dibakar! Perusakan terjadi
dimana-mana. (Maka jangan heran, sampai sekarang bekas Istana Majapahit
yang terkenal di Nusantara itu, musnah tak berbekas.)
Dan pada akhirnya, terjadilah tragedi
kemanusiaan yang sampai sekarang `DITUTUPI’.
Perang yang semula melibatkan dua
kekuatan militer Majapahit dan Demak, kini merembet menjadi perang sipil.
Mereka yang merasa diatas angin, kini menjadi sosok malaikat maut. Pertumpahan
darah terjadi. Masyarakat Majapahit yang masih memegang keyakinan lama,
berhadapan secara frontal dengan mereka yang telah berpindah keyakinan.
Dimana-mana, situasi anarkhis terjadi.
Dimana-mana dua kubu ini bentrok. Dimana-mana kekacauan merajalela. Jawa dalam
situasi chaos! Ibu pertiwi menangis. Ibu pertiwi terluka. Putra-putranya kini
tengah saling menumpahkan darah hanya karena disalah satu pihak tengah dilanda
`KE-TIDAK SADAR-AN’.
Akibat tragedi yang mencerabut segala
sendi-sendi masyarakat Majapahit ini, bangunan-bangunan indah dari Kerajaan
Agung Majapahit, musnah tak berbekas! Majapahit yang terkenal sebagai Macan
Asia, ludes dibabat habis. Di Jawa Timur, Majapahit seolah-olah hanya sebuah
mitos belaka, karena banyak peninggalan dari jaman keemasan Nusantara ini,
hancur karena kepicikan.
Hanya sedikit yang tersisa. Dan yang
sedikit itulah yang masih bisa kita saksikan hingga sekarang.
Eksodus besar-besaran terjadi. Para
Agamawan, Para Bangsawan dan rakyat yang tetap memegang teguh keyakinannya,
menyingkir ketempat-tempat yang dirasa aman. Kebanyakan menyeberang ke Bali,
Kalimantan dan Lombok.
Ada seorang putri selir Prabhu Brawijaya
yang melarikan diri bersama sisa-sisa prajurid Majapahit dan beberapa penduduk.
Dia bernama Dewi Rara Anteng. Bersama suaminya Raden Jaka Seger, dia menyingkir
ke pegunungan Bromo. Sampai sekarang keturunan mereka masih ada disana, dikenal
dengan nama suku Tengger. Diambil dari nama Dewi Rara An-TENG dan Raden Jaka
Se-GER.
Dengan dikawal oleh Pasukan Bhayangkara
dan beberapa kesatuan pasukan yang tersisa, Prabhu Brawijaya menyingkir ke arah
timur. Dan untuk sementara, beliau tinggal di Blambangan. Adipati Blambangan,
memperkuat barisan pasukan ini. Dan tak hanya itu, para penduduk Blambangan-pun
dengan suka rela ikut menggabungkan diri. Mereka benar-benar melindungi Prabhu
Brawijaya ekstra ketat. Mereka siap tempur di Blambangan. Keadaan darurat
diberlakukan.
Selama ada di Blambangan, Prabhu
Brawijaya terus terusik batinnya. Raden Patah, yang biasa beliau banggil dengan
nama Patah itu, ternyata telah tega melakukan ini semua. Kebaikan beliau selama
ini dibalas dengan racun. Sabda Palon dan Naya Genggong menabahkan hati Sang
Prabhu. Nasi sudah menjadi bubur. Tidak patut disesali lagi.
Kini, saatnya untuk menata kembali yang
tersisa. Dan untuk tujuan itu, Prabhu Brawijaya harus menyeberang ke Pulau
Bali.
Sirna Ilang Kerthaning Bhumi
Atas perintah Raden Patah, Senopati
Demak Bintara Sunan Kudus menemui Adipati Terung, adik kandung Raden Patah
dengan membawa pasukan Demak Bintara. Adipati Terung di ultimatum agar
menyerah, atau dihancurkan. Adipati Terung dalam dilema. Pada akhirnya, dia
menyatakan ‘menyerah’ kepada Demak Bintara.
Beberapa minggu kemudian, Raden Patah
datang dari Demak untuk melihat langsung kemenangan pasukannya. Raden Patah
meminta semua laporan dari kepala pasukan Demak. Diketahui kemudian, Prabhu
Brawijaya berhasil meloloskan diri. Pasukan Bhayangkara Majapahit atau Pasukan
Khusus Pengawal Raja, memang terkenal lihai melindungi junjungan mereka. Tak
ada satupun kepala pasukan Demak yang mengetahui bagaimana Pasukan Bhayangkara
bisa menerobos kepungan rapat Pasukan Islam dan kearah mana mereka membawa Sang
Prabhu pergi.
Raden Patah segera menyebar pasukan
mata-mata untuk melacak keberadaan Sang Prabhu. Dan Raden Patah sendiri segera
melanjutkan perjalanan untuk bertandang ke Pesantren Ampel di Surabaya. Dia
hendak mengabarkan kemenangan besar ini kepada janda Sunan Ampel.
Di Surabaya situasi anarkhis-pun
merajalela. Nyi Ageng Ampel, begitu mendengar
laporan Raden Patah, MARAH! Dengan tegas beliau menyatakan, apa yang dilakukan
Raden Patah adalah sebuah KESALAHAN BESAR. Dia telah berani melanggar wasiat
gurunya sendiri, Sunan Ampel, yang mewasiatkan sebelum beliau wafat, melarang
orang-orang Islam merebut tahta Majapahit. Dan juga, Raden Patah telah berani
melawan seorang Imam yang sah, seorang Umaro’ tidak seharusnya dilawan tanpa
ada alasan yang jelas. Dan yang ketiga, Raden Patah telah berani durhaka kepada
ayah kandungnya sendiri yang telah melimpahkan segala kebaikan bagi dirinya
serta orang-orang Islam.
Nyi Ageng Ampel menangis. Raden Patah
terketuk hati nuraninya, dia ikut mencucurkan air mata. Didepan Nyi Ageng
Ampel, Raden Patah mencium kaki beliau, menangis, menyesali perbuatannya.
Dengan berurai air mata, Raden Patah
meminta solusi kepada Nyi Ageng Ampel. Dan Nyi Ageng Ampel memerintahkan
kepadanya untuk segera mencari keberadaan Prabhu Brawijaya. Dan apabila sudah
diketemukan, seyogyanya, Prabhu Brawijaya dikukuhkan kembali sebagai seorang
Raja.
Mendengar perintah itu, secara emosional
Raden Patah berniat mencari ayahandanya sendiri bersama beberapa orang prajurid
Demak. Tapi Nyi Ageng Ampel mencegahnya. Dalam situasi anarkhis seperti ini,
tidak memungkinkan bagi dia untuk mencari beliau sendiri. Dikhawatirkan, akan
terjadi kesalah pahaman. Dan sekarang, dimata Prabhu Brawijaya, dirinya dan
seluruh umat Islam yang menyokong pergerakan pasukan Demak, tidak mungkin
dipercaya lagi.
Jalan keluar yang terbaik adalah,
meminta bantuan Sunan Kalijaga atau Syeh Siti Jenar untuk mewakili dirinya,
mencari Prabhu Brawijaya dan apabila sudah bisa ditemukan, memohon kepada
Prabhu Brawijaya agar kembali ke Majapahit. Sudah bukan rahasia lagi dikalangan
Istana, dua ulama besar ini tidak terlibat dalam penyerangan Majapahit.
Karena Syeh Siti Jenar, baru saja
disidang oleh Dewan Wali Sangha yang mengakibatkan hubungan beliau dengan Para
Wali sekaligus dengan Raden Patah dalam situasi yang tidak mengenakkan, maka
Raden Patah memutuskan untuk mengirim pasukan khusus menemui Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga, dimohon menghadap ke
Pesantren Ampel atas permintaan Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah.
Beberapa hari kemudian, Sunan Kalijaga
datang ke Surabaya. Beliau waktu itu berada di Demak Bintara, memfokuskan diri
memimpin pembangunan Masjid Demak.
Sunan Kalijaga, Nyi Ageng Ampel dan
Raden Patah, terlibat perundingan yang serius. Dan pada akhirnya, Sunan
Kalijaga menyetujui untuk mengemban tugas mulia itu.
Beberapa hari kemudian, laporan dari
pasukan mata-mata Demak Bintara diterima Raden Patah. Diketahui, ada
konsentrasi besar pasukan Majapahit diwilayah Blambangan. Diketahui pula,
Prabhu Brawijaya ada disana. Ada kabar terpetik, Prabhu Brawijaya hendak
menyeberang ke pulau Bali.
Mendapati informasi yang dapat dipercaya
seperti itu, Sunan Kalijaga, diiringi beberapa santrinya, segera berangkat ke
Blambangan. Dia siap mengambil segala resiko yang bakal terjadi. Dengan memakai
pakaian rakyat sipil yang tidak mencolok mata, demi untuk menghindari kesalah
pahaman, dia berangkat. Disetiap daerah yang dilalui, Sunan Kalijaga beserta
rombongan melihat pemandangan yang memilukan. Kekacauaan ada dimana-mana.
Penduduk yang masih memegang keyakinan lama, bentrok dengan penduduk yang sudah
mengganti keyakinannya.Korban berjatuhan. Nyawa melayang karena kepicikan.
Rombongan ini harus pandai-pandai
memilih jalan. Kadangkala memutar kalau dirasa perlu. Mereka sengaja
menghindari tempat keramaian. Mereka lebih memilih menerobos hutan belantara
demi menjaga keamanan.
Dan, manakala mereka sudah tiba di
Blambangan, Sunan Kalijaga, menunjukkan statusnya. Dengan mengibarkan bendera
putih tanda gencatan senjata, dia memasuki kota Blambangan yang mencekam.
Para prajurid Majapahit terkejut melihat
ada serombongan kecil orang-orang muslim memasuki kota Blambangan. Mereka
mengibarkan bendera putih. Mereka bukan tentara. Mereka tidak bersenjata. Serta
merta, kedatangan mereka dihadang oleh pasukan Majapahit. Dan mereka tidak
diperkenankan memasuki kota. Prajurid Majapahit, siap tempur.
Namun, Sunan Kalijaga menunjukkan siapa
dirinya. Dia meminta kepada kepala prajurid agar menyampaikan pesan kepada
Prabhu Brawijaya, bahwasanya dia, Raden Sahid atau Sunan Kalijaga, datang
sebagai duta dan memohon menghadap.
Ketegangan terjadi. Rombongan kecil ini
diujung tanduk. Nyawa mereka terancam. Namun mereka yakin, prajurid Majapahit
bisa membedakan, mana musuh dalam medan laga dan mana musuh dalam status duta.
Mereka tidak akan berani mencelakai seorang duta.
Ketegangan sedikit mencair manakala ada
pesan dari Sang Prabhu yang mengabulkan permohonan Sunan Kalijaga untuk
menghadap kepada beliau. Prabhu Brawijaya tahu bagaimana menghormati seorang
duta. Prabhu Brawijaya-pun tahu dari laporan para pasukan Sandhi (Intelejen)
bahwa Sunan Kalijaga bersama para pengikutnya, tidak ikut melakukan penyerangan
ke Majapahit.
Sunan Kalijaga beserta rombongan bisa
bernafas lega. Mereka segera menghadap Prabhu Brawijaya dengan pengawalan yang
sangat ketat sekali. Sembari memegang persenjataan lengkap dan siap digunakan,
para prajurid Bhayangkara menyambut kedatangan Sunan Kalijaga. Mereka
mengapitnya. Sunan Kalijaga diperkenankan masuk. Beberapa santrinya disuruh
menunggu diluar.
Prabhu Brawijaya, didampingi para
penasehat beliau yang terdiri dari para Pandhita Shiva dan Wiku Buddha, juga
Sabda Palon dan Naya Genggong, nampak telah menunggu kedatangan Sunan Kalijaga.
Begitu ada dihadapan Sang Prabhu, Sunan Kalijaga menghaturkan hormat.
Prabhu Brawijaya menanyakan maksud
kedatangan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga mengatakan bahwa dia adalah duta
Raden Patah sekaligus Nyi Ageng Ampel. Sunan Kalijaga menceritakan segalanya
dari awal hingga akhir. Bahkan dia menceritakan pula kondisi Majapahit. Prabhu
Brawijaya meneteskan air mata mendengar banyak penduduk yang harus meregang
nyawa karena kepicikan, mendengar Keraton megah kebanggaan Nusantara dibumi
hanguskan, mendengar tempat-tempat suci hancur rata dengan tanah.
Seluruh yang hadir merasa sedih, marah,
geram, semua bercampur aduk menjadi satu. Dan manakala Sunan Kalijaga mengahturkan
tujuan sebenarnya dia menjadi duta, yaitu agar Prabhu Brawijaya berkenan
kembali memegang tampuk pemerintahan di Majapahit, seketika ssemua yang hadir
memincingkan mata.Seolah mendengarkan kalimat yang tidak bisa dicerna.
Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau
meminta nasehat. Beberapa penasehat mengusulkan agar hal itu tidak dilakukan,
karena sama saja menerima suatu penghinaan. Dinasti Majapahit, bisa kembali
berkuasa hanya karena kebaikan hati orang-orang Islam. Tidak hanya itu saja,
wibawa Sang Prabhu akan jatuh dimata para pendukungnya. Tidak ada artinya tahta
yang diperoleh dari belas kasihan musuh. Masyarakat Majapahit akan memandang
rendah pemimpin mereka yang mau menerima tahta seperti itu. Selama ini,
Raja-Raja Majapahit, tidak pernah melakukan itu. Bila wibawa Sang Prabhu telah
jatuh, dengan sendirinya, para pengikut Sang Prabhu akan berani juga
bermain-main dengan Sang Prabhu kelak. Hukum tidak akan dipatuhi. Para
pembangkang akan muncul dimana-mana bak jamur tumbuh dimusim penghujan. Dan
lagi, apakah Sang Prabhu tidak malu menerima tahta dari anaknya sendiri?
Sebaiknya Sang Prabhu tidak menerima
tawaran itu.
Sang Prabhu menghela nafas …
Sunan Kalijaga mohon bicara. Apabila
memang Sang Prabhu tidak mau menerima tahta Majapahit dari tangan Raden Patah,
maka seyogyanya Sang Prabhu mempertimbangkan kembali jika hendak mendapatkannya
dengan jalan merebut. Sebab, bila hal itu sampai terjadi, tidak bisa dibayangkan,
tanah Jawa akan banjir darah. Dukungan kekuatan militer bagi Sang Prabhu akan
datang dari segenap pelosok Nusantara, tidak bakalan tanggung-tanggung lagi.
Jawa akan semakin membara bila seluruh Nusantara akan bangkit. Pembunuhan yang
lebih besar dan mengerikan akan terjadi.
Sang Prabhu Brawijaya bagaikan disodori
buah simalakama, dimakan mati tidak dimakan pun mati. Sejenak, Sang Prabhu berunding dengan
para penasehat beliau yang terdiri dari para ahli hukum dan agamawan. Sejurus
kemudian, beliau menyatakan kepada Sunan Kalijaga hendak merundingkan hal ini
dengan para penasehat lebih dalam lagi. Dan Sunan Kalijaga diperbolehkan
menghadap esok hari lagi. Sunan Kalijaga dan seluruh rombongannya diberikan
tempat bermalam, dengan pengawalan ketat.
Keesokan harinya, Sunan Kalijaga
dipanggil menghadap. Prabhu Brawijaya memutuskan, untuk menghindari pertumpahan
darah yang lebih besar lagi, beliau tidak akan mengadakan gerakan perebutan
tahta kembali. Lega Sunan Kalijaga mendengarnya.
Namun apa yang akan dilakukan Sang
Prabhu agar seluruh putra-putra beliau mau merelakan tahta diduduki Raden
Patah? Begitu Sunan Kalijaga meminta kejelasan langkah selanjutnya. Sang Prabhu
mengatakan, beliau akan mengeluarkan maklumat kepada seluruh putra-putra beliau
untuk bersikap sama seperti dirinya. Untuk berjiwa besar memberikan kesempatan
bagi Raden Patah memegang tampuk kekuasaan. Terutama kepada keturunan beliau di
Pengging, maklumat ini benar-benar harus dipatuhi. Semua sudah paham, yang
berhak mewarisi tahta Majapahit sebenarnya adalah keturunan di Pengging.
Kini, Sang Prabhu yang mempertanyakan
jaminan kebebasan beragama kepada Sunan Kalijaga, apakah Demak Bintara bisa
memberikan wilayah-wilayah otonomi khusus bagi para penguasa daerah yang
mayoritas masyarakatnya tidak beragama Islam?Bisakah
Demak Bintara sebijak Majapahit dulu? Bukankah keyakinan yang dianut Raden
Patah menganggap semua yang diluar keyakinan mereka adalah musuh?
Sunan Kalijaga terdiam. Dan setelah
berfikir barang sejenak, Sunan Kalijaga betjanji akan ikut andil menentukan
arah kebijakan pemerintahan Demak Bintara. Dan itu berarti, mulai saat ini, dia
harus ikut terjun kedunia politik. Dunia yang dihindarinya selama ini (Tahta
Kadipaten Tuban yang diserahkan kepadanya, dia berikan kepada Raden Jaka Supa,
suami adiknya Dewi Rasa Wulan).
Prabhu Brawijaya bernafas lega. Dia
percaya pada sosok Raden Sahid atau Sunan Kalijaga ini. Sunan Kalijaga menambahkan, Sang Prabhu
seyogyanya kembali ke Trowulan. Tidak usah meneruskan menyeberang ke pulau
Bali. Sebab dengan adanya Sang Prabhu di Trowulan, para putra dan masyarakat
tahu kondisi beliau. Tahu bahwasanya beliau baik-baik saja. Sehingga seluruh
pendukung beliau akan merasa tenang.
Kembali Sang Prabhu berunding dengan
para penasehat sejenak Kemudian beliau memeberikan jawaban.
Ada beliau di Trowulan ataupun tidak,
stabilitas negara sepeninggal beliau tergulingkan dari tahta, mau tidak mau,
tetap akan terganggu. Karena para pendukung beliau pasti juga banyak yang belum
bisa menerima pemberontakan Raden Patah ini. Namun, jika tidak ada komando
khusus dari beliau, hal itu tidak akan menjadi sebuah kekacauan yang besar.
Pembangkangan daerah per daerah pasti terjadi. Tapi, Sang Prabhu menjamin,
tanpa komando beliau, penyatuan kekuatan Majapahit dari daerah per daerah tidak
bakalan terjadi. Dan, beliau tidak perlu pulang ke Trowulan.
Sunan Kalijaga resah. Bila Sang Prabhu
ke Bali, Sunan Kalijaga takut beliau akan berubah pikiran begitu melihat betapa
militan-nya para pendukung beliau disana. Mau tidak mau, Prabhu Brawijaya harus
bisa diusahakan pulang ke Trowulan. Sunan Kalijaga memutar otak.
Sunan Kalijaga tahu, hati Prabhu
Brawijaya sangat lembut. Dan kini, Sunan
Kalijaga akan berusaha mengetuk kelembutan hati beliau. Sunan Kalijaga
memberikan gambaran betapa mengerikannya jika para pendukung beliau benar-benar
siap melakukan gerakan besar. Tidak ada jaminan bagi Sang Prabhu sendiri bahwa
beliau tidak akan berubah pikiran bila tetap meneruskan perjalanan ke Bali.
Sunan Kalijaga memohon, Prabhu Brawijaya harus mengambil jarak dengan para
pendukung beliau. Nasib rakyat kecil dalam hal ini dipertaruhkan. Mereka harus
lebih diutamakan.
Sunan Kalijaga memberikan
kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi jika Sang Prabhu tetap hendak ke
Bali
Diam-diam, Prabhu Brawijaya berfikir.
Diam-diam hati beliau terketuk. Kata-kata Sunan Kalijaga memang ada benarnya.
Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau memutuskan pertemuan untuk sementara
disudahi. Sunan Kalijaga diminta kembali ketempatnya untuk sementara waktu.
Dan, Prabhu Brawijaya ingin menyendiri.
Ingin merenung tanpa mau diganggu oleh siapapun. Ketika malam menjelang, Sang
Prabhu memanggil Sabda Palon dan Naya Genggong. Bertiga bersama-sama membahas
langkah selanjutnya.
Dan, ketika malam menjelang puncak,
Sabda Palon dan Naya Genggong berterus terang, Mereka berdua menunjukkan siapa
sebenarnya jati dirinya. Diiringi semburat cahaya lembut, Sabda Palon dan Naya
Genggong ‘menampakkan wujudnya yang asli’ kepada Prabhu Brawijaya.
Prabhu Brawijaya terperanjat. Serta
merta beliau menghaturkan hormat, bersembah. Kini, malam ini, untuk pertama
kalinya, Sang Prabhu Brawijaya bersimpuh. (Siapa mereka? Masih rahasia).
Sabda Palon dan Naya Genggong memberikan
gambaran apa yang bakal terjadi kelak di Nusantara …
Semenjak hari kehancuran Majapahit,
‘kesadaran’ masyarakat Nusantara akan jatuh ketitik yang paling rendah. ‘Kulit’
lebih diagung-agungkan dari pada ‘Isi’. ‘Kebenaran Yang Mutlak’ dianggap
sebagai milik golongan tertentu. Dharma diputar balikkan. Sampah-sampah seperti
ini akan terus tertumpuk sampai lima ratus tahun kedepan. Dan bila sudah
saatnya, Alam akan memuntahkannya. Alam akan membersihkannya.
Nusantara akan terguncang. Gempa Bumi,
banjir bandang, angin puting beliung, ombak samudera naik ke daratan, gunung
berapi memuntahkan laharnya berganti-gantian, musibah silih berganti, datang
dan pergi. Bila waktu itu tiba, Alam telah melakukan penyeleksian. Alam akan
memilih mereka-mereka yang ‘berkesadaran tinggi’. Yang ‘kesadarannya masih
rendah’, untuk sementara waktu disisihkan dahulu atau akan dilahirkan ditempat
lain diluar Nusantara. Bila saat itu sudah terjadi, Sabda Palon dan Naya
Genggong akan muncul lagi, kembali ke Nusantara. Sabda Palon dan Naya Genggong
akan ‘merawat tumbuhan kesadaran’ dari mereka-mereka yang terpilih. Sabda Palon
dan Naya Genggong akan menjaga ‘tumbuhan Buddhi’ yang mulai bersemi itu. Itulah
saatnya, agama Buddhi, agama Kesadaran akan berkembang biak di Nusantara. Dan
Nusantara, pelan tapi pasti, akan dapat meraih kejayaannya kembali.
Memang sudah menjadi garis karma,
kehendak Hyang Widdhi Wasa, mereka-mereka saat ini berkuasa di Nusantara.
Prabhu Brawijaya tidak ada gunanya mempertahankan Shiva Buddha. Prabhu
Brawijaya lebih baik menuruti kehendak mereka-mereka yang tengah berkuasa.Kelak, Prabhu Brawijaya juga akan lahir lagi, lima
ratus tahun kemudian, untuk ikut menyaksikan berseminya agama Buddhi.
Menangislah Prabhu Brawijaya. Semalaman
beliau menangis. Semua rahasia masa depan Nusantara, dijabarkan oleh Sabda
Palon dan Naya Genggong.
Keesokan harinya, beliau memanggil Sunan
Kalijaga. Dihadapan seluruh yang hadir, beliau menyatakan hendak kembali ke
Trowulan. Dan yang lebih mengagetkan, beliau menyatakan masuk Islam demi
menjaga stabilitas negara.
Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir
terperangah mendengar keputusan Sang Prabhu. Beberapa penasehat, pejabat dan
kepala pasukan Bhayangkara, bersujud sambil menangis haru. Mereka memohon agar
Sang Prabhu mencabut kembali sabda yang telah beliau keluarkan. Situasi tegang,
sedih, bingung …
Sabda Palon dan Naya Genggong angkat
bicara. Dihadapan Prabhu Brawijaya, Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir,
mereka mengucapkan sebuah sumpah, bahwasanya lima ratus tahun kemudian, mereka
berdua akan kembali. (Inilah yang lantas dikenal dengan JANGKA Sabda
Palon NAYA GENGGONG oleh masyarakat Jawa sampai sekarang. Baca catatan saya
tentang SERAT Sabda Palon.).
Selesai mengucapkan sumpah mereka, Sabda
Palon dan Naya Genggong mencium tangan Sang Prabhu Brawijaya. Sabda Palon
berbisik :
“Lima ratus tahun
lagi,ananda akan bertemu dengan kami kembali. Sekarang sudah saatnya kita
berpisah. Selamat tinggal ananda.”
Sabda Palon dan Naya Genggong menyembah
hormat, lalu bergegas keluar dari ruang pertemuan. Semua yang hadir masih
bingung melihat peristiwa ini. Diantara mereka, ada beberapa yang ikut
menyembah, melepas lencana mereka dan memohon maaf kepada Sang Prabhu untuk
undur diri.
Bagaikan tugu dari batu, Sang Prabhu
Brawijaya diam tak bergerak. Tinggal beberapa orang yang ada didepan beliau.
Beberapa pasukan Bhayangkara yang memutuskan untuk setia mengiringi Sang
Prabhu. Juga ada Sunan Kalijaga, yang masih pula ada di sana.
Setelah kediaman beliau yang lama, Sunan
Kalijaga memberanikan diri menanyakan keputusan Sang Prabhu tersebut. Sang Prabhu
menjawab, semua memang harus terjadi. Mendengar sabda Sang Prabhu, Sunan
Kalijaga segera mendekat kepada beliau.
Sunan Kalijaga memohon dengan segala
hormat, apabila Sang Prabhu benar-benar ikhlas menyerahkan tahta kepada Raden
Patah, maka beliau harus rela melepaskan mahkota beserta pakaian kebesaran
beliau sebagai Raja Diraja. Sejenak Sang Prabhu masih ragu, namun ketika sekali
lagi Sunan Kalijaga memohon keikhlasan beliau, maka Sang Prabhu
menyetujuinya. (Inilah simbolisasi rambut beliau dipotong oleh Sunan
Kalijaga. Pada kali pertama, rambut beliau tidak bisa putus. Dan pada kali
kedua, barulah bisa putus)
Tidak menunggu waktu lama, berangkatlah
rombongan Prabhu Brawijaya yang terdiri dari sedikit pasukan Bhayangkara dan
Sunan Kalijaga beserta para santri menuju Trowulan. Sesampainya di Trowulan,
masyarakat Majapahit menyambut dengan penuh suka cita. Keadaan mulai berangsur
membaik ketika Sang Prabhu Brawijaya mengeluarkan maklumat agar semua
pertikaian dihentikan. Disusul kemudian, keluar maklumat serupa dari Demak
Bintara yang memfatwakan, peperangan sudah berhenti, diharamkan membunuh mereka
yang telah kalah perang. Kondisi anarkhisme, berangsur-angsur menjadi kondusif.
Stabilitas untuk sementara waktu kembali normal. Stabilitas yang dibawa dari Blambangan
ini, membuat Sunan Kalijaga, sebagai suatu kenangan keberhasilan mendamaikan
kedua belah pihak, memberikan nama baru kepada Blambangan, yaitu
Banyuwangi. (Disimbolkan, Sunan Kalijaga membawa sepotong bambu
kemudian dia mengisinya dengan air kotor waktu masih di Blambangan. Begitu
sesampainya di Trowulan, air dalam bambu itu berubah menjadi jernih dan wangi.
Bambu adalah lambang dari sebuah negara, air kotor yang diambil Sunan Kalijaga
adalah masalah yang dibuat oleh orang-orang yang sekeyakinan dengan Sunan
Kalijaga sendiri. Air yang berubah jernih setibanya di Trowulan melambangkan
kembalinya stabilitas negara).
Bergiliran, para putra Prabhu Brawijaya
datang ke Trowulan. Adipati Handayaningrat dari Pengging beserta Ki Ageng
Pengging putranya. Raden Bondhan Kejawen dari Tarub. Raden Bathara Katong dari
Ponorogo. Raden Lembu Peteng dari Madura, dan masih banyak lagi. Tak
ketinggalan Raden Patah sendiri.
Dihadapan seluruh putra-putra beliau,
Sunan Kalijaga menyampaikan amanat Sang Prabhu agar pertikaian dihentikan. Dan
agar Raden Patah, diikhlaskan menduduki tahta Demak Bintara. Seluruh
putra-putra beliau, wajib menerima dan mentaati keputusan ini.
Kepada Sunan Kalijaga, Sang Prabhu
Brawijaya memberikan amanat untuk mendampingi keturunan beliau yang ada di
Tarub yaitu Raden Bondhan Kejawen dan keturunan beliau yang ada di Pengging.
Terutama kepada Raden Bondhan Kejawen, Prabhu Brawijaya telah mengetahuinya
dari Sabda Palon dan Naya Genggong, bahwa kelak, dari keturunannya, akan lahir
Raja-Raja besar di Jawa. Dinasti Raden Patah dan dinasti dari Pengging, tidak
akan bertahan lama.
Prabhu Brawijaya bahkan membisikkan
kepada Sunan Kalijaga, bahwa Demak hanya akan dipimpin oleh tiga orang Raja.
Setelah itu akan digantikan oleh keturunan dari Pengging, cuma satu orang Raja.
Lantas digantikan oleh keturunan dari Tarub. Banyak Raja akan terlahir dari
keturunan dari Tarub. (Ramalan ini terbukti, Demak hanya diperintah
oleh tiga orang Sultan. Yaitu Raden Patah, Sultan Yunus lalu Sultan Trenggana.
Setelah itu terjadi pertumpahan darah antara Kubu Abangan dengan Kubu Putihan.
Dan Jaka Tingkir tampil kemuka. Jaka Tingkir adalah keturunan dari Pengging.
Tapi tidak lama, keturunan dari Tarub, yaitu Danang Sutawijaya, yang kelak
dikenal dengan gelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mentaram, akan tampil
kemuka menggantikan keturunan Pengging. Panembahan Senopati inilah pendiri
Kesultanan Mataram Islam, yang sekarang terpecah menjadi Jogjakarta, Surakarta,
Mangkunegaran dan Paku Alaman)
Tidak berapa lama kemudian, Prabhu Brawijaya
jatuh sakit. Dalam kondisi akhir hidupnya, Sunan Kalijaga dengan setia
mendampingi beliau. Kepada Sunan Kalijaga, Prabhu Brawijaya berwasiat agar
dipusara makam beliau kelak apabila beliau wafat, jangan dituliskan nama beliau
atau gelar beliau sebagai Raja terakhir Majapahit. Melainkan beliau meminta
agar dituliskan nama Putri Champa saja. Ini sebagai penanda kisah akhir hidup
beliau, juga kisah akhir Kerajaan Majapahit yang terkenal dipelosok Nusantara.
Bahwasanya, beliau telah ditikam dari belakang oleh
permaisurinya sendiri Dewi Anarawati atau Putri Champa dan beliau diperlakukan
dan tidak dihargai lagi sebagai seorang laki-laki oleh Raden Patah, putranya
sendiri.
Sunan Kalijaga sedih mendapat wasiat
seperti itu. Namun begitu beliau wafat, wasiat itu-pun dijalankan.
Seluruh masyarakat berkabung. Seluruh
putra dan putri beliau berkabung. Dan kehancuran Majapahit. Kehancuran
Kerajaan Besar ini dikenang oleh masyarakat Jawa dengan kalimat sandhi yang
menyiratkan angka-angka tahun sebuah kejadian (Surya Sengkala),
yaitu SIRNA ILANG KERTANING BHUMI.
- SIRNA berarti angka ’0′.
- ILANG berarti angka ’0′.
- KERTA berarti angka ’4′, dan …
- BHUMI berarti angka ’1′.
Dan apabila dibalik, akan terbaca 1400
Saka atau 1478 Masehi. Kalimat KERTAning BHUMI diambil dari nama asli Prabhu
Brawijaya, yaitu Raden Kertabhumi. Inilah kebiasaan masyarakat Jawa yang sangat
indah dalam mengenang sebuah kejadian penting.
Dan Raden Patah, memindahkan pusat
pemerintahan ke Demak Bintara. Dia dikukuhkan oleh Dewan Wali Sangha sebagai
Sultan dengan gelar Sultan Syah ‘Alam Akbar Jim-Bun-ningrat.
Keinginan orang-orang Islam terwujud.
Demak Bintara menjadi ke-Khalifah-an Islam pertama di Jawa. Tapi, pemberontakan
dari berbagai daerah, tidak bisa diatasi oleh Pemerintahan Demak.
Wilayah Majapahit yang dulu luas, kini
terkikis habis.
Praktis, wilayah Demak Bintara hanya
sebatas Jawa Tengah saja.
Kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian
seolah menjauh dari Demak Bintara. Darah terus tertumpah tiada habisnya.
Perebutan kekuasaan silih berganti. Nusantara semakin terpuruk. Semakin
tenggelam dipeta perpolitikan dunia.
Disusul kemudian, pada tahun 1596 Masehi,
Belanda datang ke Jawa.
Nusantara semakin menjadi BANGSA TEMPE!
Semenjak Majapahit hancur, hingga
sekarang, kemakmuran hanya menjadi mimpi belaka.
Kapan Majapahit bangkit
lagi?
Kapan Nusantara akan
disegani sebagai Macan lagi?
Menangislah membaca
sejarah bangsa kita.
Menangislah kalian
karena kalian sendiri yang telah lalai
terlalu bangga membawa
masuk ideologi bangsa lain
yang tidak sesuai dengan
tanah Nusantara
21 komentar:
Saat ini telah disetujui oleh dunia dan telah disiapkan sistem keuangan hingga pengadilan beretika untuk keuangan termasuka Mahkamah Internasional, apa yang disebut sebagai pembangunan dunia beretika yang berdasarkan Pembukaan UUD'45, UN Charter, Memahayu Hayuning bawono, Rachmatan lil al Amien, Tri Hita Karana, Memanusiakan Manusia, Ajaran sosial gereja.
Yang salah satunya adalah mengubah Green Hillton Agreement (GHA) lama pada perjanjian beretika. Pekerjaan Besar sudah dimulai jangan ada yang tertidur dan menangis lagi menunggu dan menunggu saat ini sudah berjalan, jauhkanlah dari Kebencian dan dendam. Manusia menjadi menusia seutuhnya jika sudah dapat menguasai kebencian dan dendam menjadi kasih sayang pada sesamanya dan pengabdian kepada Allah SWT.
Wujud sejati Allah SWT adalah realisasi Asma Husna nyata dalam diri manusia tingkatan apapun dan tidak ada penghancuran diluar keyakinannya karena Allah SWT tidak perlu dibela apalagi oleh ketololan, kebodohan serta kepicikan manusia dalam tempurung kepalanya yang jauh dari hikmat dan kebijaksanaan.
Tidak ada yang bisa melawan kodrat dari Adi Kodrati, yang ada hanyalah kerendahatian atau musnah melawan Adi Kodrati yang tidak perlu dibela apalagi dibimbing oleh ketololan, kebodohan serta kepicikan manusia.
pahamilah prinsip berikut: berbudi = beretika. agama budho= pandangan agama-agama yang menyatu yaitu Pembukaan UUD'45 (sekuler), UN Charter (internasional humanisme), Memahayu Hayuning bawono (kejawen), Rachmatan lil al Amien (Islam), Tri Hita Karana (hindu), Memanusiakan Manusia (kepercayaan kepada Tuhan yang maha Esa, Ajaran sosial gereja (Katolik),
Rahayu, Pinasti, Salam, Ohm Swasti Astu.. Shanti.shanti
kwkwkwkwkkkkkk.. kalau mau bikin tulisan sejarah, yg pintar dikit dong.. jgn kebanyakan menghayal.. ntar capek loo nulis.. kwkwkwkakkkkkkkk.. (M. Yamin)
bangsa yang lemah adalah bangsa yang tidak mengahargai sejarah yang ada.. karena untuk menjadi bangsa yang besar dibutuhkan kesadaran akan pentingnya hidup dalam perbedaan, dunia akan indah apabila perbedaan bukan untuk diperdebatkan.. salam damai untuk Nusantara Tercinta
cerita yang sangat menarik, mohon sumbernya disebutkan pak.
Wah, artikelnya bener-bener bagus :D
fakta yang sengaja disembunyikan. lagi-lagi islam merusak tatanan leluhur jawa. jika majapahit tidak dibumihanguskan belanda tidak akan mampu masuk indonesia.
keadaan bangsa seperti sekarang ini adalah bukti bahwa ajaran budi hawa tidak dimaknai lagi sebagai ajaran sakral orang jawa. mereka lebih senang mengagungkan ajaran orang lain daripada warisan leluhur sendiri. disuruh berangkat naik haji, uangnya dibayar sekarang surganya terimanya kelak. itu masih katanya. kalau tidak menerima nanti mau minta pada siapa. hancurnya majapahit, hancurnya nusantara. kembalikan jawa ke orang jawa. bukan orang jawan.
Menangislah membaca sejarah bangsa kita..
Menangislah kalian karena kalian sendiri yang telah lalai..
terlalu bangga membawa masuk ideologi bangsa lain...
yang tidak sesuai dengan tanah Nusantara..
>>> ya, aku menangis......
>>> ya, aku sadar aku telah lalai...
>>> ya, hatiku brkata cerita diatas inilah sesungguhnya yg trjadi, melengkapi detail perbendaharaan pengetahuan yg kukumpulkan slm ini,, dan tak dapat dipungkiri lg bhw hati adalah penuntun terbaik..
>>> ya, untunglah aku tak termasuk dlm golongan PEMAHAMAN KULIT...mari sekarang kita sami sareng amemayu ayuning buwana, menebus dosa dan eksalahan pendahulu kita dengan sikap eling dan waspada, pikiran terbuka dan menimbang secara bijak dengan tidak kagetan dan gumunan...
terimakasih utk penulis artikel, sangat menambah wawasan dan senada dgn cerita2..jabat erat dr sy,
ngenes dan nelangsa sy buat para pemrotes yg bisanya cuma berkomentar sumbang, belum apa2 udh sok tau, belum mengerti duduk perkara udh menghakimi krn kepicikannya yg bebal membawa sial..
akhirnya dgn ketulusan hati sy mengajak rekan2 pecinta tanah air indonesia untuk memperbaiki negeri ini sejak detik ini juga dimulai dari diri sendiri, mari kita :
1. lebih membuka hati terhadap sesuatu yg baru, kenalilah dahulu baru simpulkan dan jgn trgesa2...
2. tingkatklan toleransi beragama dl bersosial tingkatkan dan terus tingkatkan,,
3. ibadahlah dengan menggunakan hati, jangan hanya pamrih ingin surga/takut neraka tapi niatkanlah utk mencari ridho
4. banyak2lah instropeksi diri, mari hindari penonjolan ego dan mari berbenah diri..
5. dst dst...
slm rahayu karaharjan
slm asih nusantara,
slm eling lan waspada
#cantrik sangiang
Bagus untuk menambah wawasan sejarah.....agar kita tidak saling menyalahkan.....semua punya kelebihan dan kekurangan.....semua itu adalah ayat-ayat agar kita bisa mengambil pelajaran darinya....wassalam...rahayu
SAYA SANGAT BERHARAP DENGAN KEBESARAN HATI DAN TOLERANSI DAPAT MEWUJUDKAN HARMONISASI UMAT MANUSIA. SEJARAH SUDAH MEMBUKTIKAN BAHWA KITA SEMUA TELAH LALAI UNTUK TAHU SIAPA KITA INI SENDIRI. JANGAN TUNGGU MURKANYA YANG KUASA, LALU KITA SADAR. ILING LAN WASPODO AGAR SELAMAT.
untuk legenda ki ageng selo menangkap petir kapan di publikasikan nih...???
buat yg islamiphobia terserah deh lo mo bilang apa,
buat penulis thanks wawasannya
yang pasti intinya adalah sebuah takdir yg miris dapat menimpa bangsa yg besar bukan karena agama,suku atau ras tapi memang takdir, tapi apa bangsa itu ga akan bisa maju?
ok liat yahudi para kaum terbuang, sekaraang liat mereka, tatanan politik universal sudah mereka kuasai
liat jepang di PD2 luluh lantah, sekarang teknologi mendahului semua negara
untuk indonesia mungkin setelah melewati beberapa perang sodara dulu kali ya biar para petingginya ngerasain nelen peluru dulu
ya elaah.... gitu aja kok repot.. sejarah mah buat pelajaran aja,,, simplenya ambil contoh nyang bagoos buang contoh nyaang jelek,, ambil pelajaran buat kedepan agar kagak keulang hal-hal yang pait dimasa lalu,, pembenaran si bole" ajee cuman kaga usah nyalahin ato mojokin sana sene,,, ngomong pedes ini itu,,, kek nyang ngalamin sendiri ajaa ntu kejadian berabad" yang lalu,,, ribet daah,,, mao munculin nasionalisme apa mao goyangin nasionalisme,,, ato ada udang di balik karang,,,
mari hati berhati-hati,, juga akal jangan terus bersemedi,,, "tanya knapa..??" o.O
Enak banget jadi raja yak..
Bisa ngentotin putri cantik dari kerajaan2 laen :p
tolong di cek dan ricek yng jelas ,dengan fakta data dan realita sejarah sebenarnya, champa itu bukan di champa birma atw kambodia , karena di tahun yang sama champa di sana rajanya buddha dan tidak ada islam, jadi champa yang dimaksud adalah champa di atjeh, dhara adalah putri raja di pasai atjeh untuk panggilan (dhara wati , dhara wulan )tidak ada di catatan sejarah di daerah kambodi/birma nama itu. perlu di ingat atjeh pasai jaman itu di kuasai majapahit.(cari dengan fakta,data ,realita ya??? jangan menghayal soal putri champa.
Kenyataan nya apapun yang diperoleh dengan tidak halal akhirnya akan berakhir haram, lihat saja bangsa kita sekarang penuh dengan hal hal haram yang dihalalkan. kebenaran itu mutlak bukan dari suara sorak sorai.
Sudah dicontohkan oleh kanjeng nabi Muhamad SAW, cuma menangisi kematian pamannya Abi Thalib dan mempertanyakan kenapa tidak masuk Islam, langsung ditegur dengan turunnya surat Al-kafirun: .............................. Lakum dinukum wal yaddiin. Di Indobesia anak malah Durhaka terhadap oranga tuanya??? termasuk beberapa wali yang ikut menghancurkan kahanan damai di mojopahit. mana bukti islam itu rahmatan lil alamin???? jadi deh fpi sekarang.
Tapi yang sudah terjadi yaa sudahlah nasi sudah menjadi bubur. bibit sudah ditanam oleh raden patah beserta para wali tersebut dan sekarang tumbuh subur di mana-mana,
Ya gusti Allah sing gawe urip, kapan sabdo palon dan noyo genggong nya muncul kembali??? kasihan rakyat kecil cuma di ombang-ambingkan dengan ketidak pastian. kapan ajaran budhi diajarkan kembali pada umat manusia indonesia????????????????????????
bibit-bibit tersebut sekarang tumbuh subur menjadi mereka yang bernama FPI, dibelakang mereka mengaku-ngaku sebagai Habib????/ Keturunan kanjeng Nabi SAW. Hanya karena mereka orang arab???? Benarkah????
Mengobrak-ngabrik sarang pelacuran, menutup tempat pelacuran? Terus kalo tempat pelacuran ditutup, anak-anak mereka mau makan apa????? FPI mau ngasih makan mereka? Lha wong FPI aja isinya pengangguran????? iki piye
Berjihadlah untuk memberantas kemiskinan, buka lapangan kerja baru, hasilkan uang yang banyak spy fakir miskin hilang dari bumi Nusantara!!!!
Ini namanya Rahmatan Lil Alamin, Islam membawa berkah bagi alam semesta(NUSANTARA!!!!!), bukan membasmi fakir miskin!!!!!
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/358901/Majapahit-empire
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/105118/Champa
http://www.youtube.com/watch?v=w_oVHuZyiDE
Memang benar adanya, Indonesia yang dulunya hanya terdiri dari 2 agama yaitu Hindu dan Budha bisa hidup berdampingan dgn damai,,,dlm kurun beberapa waktu masuklah agam Islam dan Kristen yg suka perang yg menjadikan situasi menjadi kacau dan runyam terpuruk dlm kebodohan dan kemiskinan...
ya ..semoga bener orang bernama jawa yang akan menjadi pemimpin seperti joko widodo kelak....dan membuat nusantara ini damai kembali...
nusantara udah dibuat begini, dari sonohnya,...seperti agan lahir, bisa minta sempurna, kaya, ganteng, keren, pinter, dll, begitu juga Majapahit, mana tau Prabu Brawijaya bakal kejadian kaya begonoh, jelas-jelas di jago ngeramal,
-Prabhu Brawijaya bahkan membisikkan kepada Sunan Kalijaga, bahwa Demak hanya akan dipimpin oleh tiga orang Raja.
blom lagi dari uraian Sabda Palon ama Naya Genggong.
-Sabda Palon dan Naya Genggong memberikan gambaran apa yang bakal terjadi kelak di Nusantara …
kan Beliau bisa jaga-jaga, setiap agama ada namanya darma ama karma,....trims yah artikel ye hehehehe,....
Posting Komentar